Disusun
guna
untuk memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Pemikiran Tafsir Indonesia
Dosen
Pengampu: Shofaussamawati, M.Ag., M.S.I
Disusun
oleh:
M.
Nurun Ni’am NIM.
1530110059
Anik
Lestari Masruroh NIM. 1530110060
Siti
Hardiyanti Hasanah NIM.
15301100 .
Anik
Rif’atul Uluwiyah NIM.
15301100 .
M.
Musthofa NIM.
15301100 .
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN / IQT 4B
2017
Contents
Satu dari beberapa karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup
fenomenal , adalah al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH
Bisri Musthofa, seorang ulama kharismatis dan ‘materialistis’ asal Rembang Jawa
Tengah. Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai
dari Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas.
Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
karya tafsir Kiai Bisri ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji
dan diaji oleh para santri, dari sejak kemunculannya hingga kini. Seperti
dituturkan penulisnya, karya ini, antara lain, memang ditujukan untuk para
santri pesantren. Sehingga tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di
kalangan pesantren dan tidak di luar pesantren. Dan dengan penggunaan bahasa
Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana pesantren
di Jawa.
1.
Bagaimana Biografi KH Bisri Musthofa?
2.
Apa Motif Dibalik Penyusunannya?
3.
Bagaimana Aspek Teknis Penulisan
Tafsir?
4.
Bagaimana Aspek Metode Tafsir?
KH Bisri Musthofa, nama
kecilnya Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada
16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan
menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama
tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah.
Kiai Bisri merupakan
sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus
pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara
tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya
pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam
merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama
(PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI
dan Masyumi.
Kemampuan dan
kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia
kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai
orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan
pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang
membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat
menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam.
KH Bisri Musthofa
adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai
Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang.
Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai
Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu
itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai
Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan
Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.
Kedua, pada zaman
pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota
konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut
terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir.
Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.
Ketiga, pada zaman pemerintahan
Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah
hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan
Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota
Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar
sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan)
Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena
meninggal seminggu sebelum masa kampanye.
Kepergian Kiai Bisri
untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena
selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi
perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti.
Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata
Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya.[1]
Sebagai kitab suci, al-Qur’an menempati posisi sentral dalam
kehidupan umat Islam. Ada dorongan yang sangat kuat untuk selalu menyelaraskan
kehidupannya dengan tuntunan al-Qur’an. Dorongan ini tidak saja dimonopoli
oleh umat Islam generasi pertama (para sahabat Nabi Muhammad dan seterusnya),
tapi juga dialami oleh umat Islam terakhir nanti sekalipun. Terbukti selalu ada
kelompok-kelompok yang mengklaim menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya
hukum yang diterapkan di dalam hidupnya. Lebih dramatis lagi, ekspresi itu
kadang-kadang disalurkan justru menyalahi hukum Allah itu sendiri.
Motivasi utama seorang Muslim saat berusaha memahami dan menafsirkan
al-Qur’an adalah motivasi religius, meski tak dinafikan ada motivasi lain
seperti politik, ekonomi dan lain-lain. Ini juga yang melandasi KH. Bisri
Mustofa saat menulis tafsir al-Ibriz. Karena ibadah dan semata-mata mencari
ridho Allah, penafsir tergerak hatinya untuk membuka tabir rahasia
ajaran-ajaran al-Qur’an yang terkadang tidak mudah dipahami. Adapun keuntungan
ekonomi, sosial atau politik yang mengikuti penafsir setelah tafsirnya dipublikasikan
itu menjadi bagian dari berkah al-Qur’an kepadanya.
Menulis telah menjadi bagian penting dalam kehidupan KH. Bisri Mustofa.
Selain untuk mendapatkan kepuasaan batin juga keuntungan ekonomis. Sejak
nyantri di pesantren Kasingan, ketekunannya menulis sudah bisa dilihat karena
tuntutan keadaan ekonomi yang sangat minim. Menurut penuturan Ny. Ma’rufah,
pada waktu itu KH. Bisri Mustofa sering menerjemahkan kitab-kitab tertentu dan
kemudian dijual kepada kawan-kawannya. Kegiatan ini tidaklah sulit karena ia
dikenal sebagai santri yang memiliki kelebihan, terutama dalam bidang nahwu.[2]
Tidak ada data akurat yang menyebutkan kapan sebenarnya tafsir
al-Ibriz mulai ditulis. Tetapi tafsir ini diselesaikan pada tanggal 29 Rajab
1379, bertepatan dengan tanggal 28 Januari 1960. Menurut keterangan Ny.
Ma’rufah, tafsir al-Ibriz selesai ditulis setelah kelahiran putrinya yang
terakhir (Atikah) sekitar tahun 1964. Pada tahun ini pula, tafsir al-Ibriz
untuk pertama kalinya dicetak oleh penerbit Menara Kudus. Penerbitan tafsir ini
tidak disertai perjanjian yang jelas, apakah dengan sistem royalti atau
borongan.[3]
Boleh jadi jauh pada tahun-tahun sebelumnya, KH. Bisri Mustofa
telah lama menulis dan menafsirkan al-Qur’an dan tidak seorangpun dari
keluar-ganya yang tahu. Selain di rumah, KH. Bisri Mustofa memiliki kebiasan
membawa alat tulis dan kertas saat bepergian untuk pengajian.
Jika menilik tahun diselesaikannya tafsir al-Ibriz, tafsir ini
final ditulis pada situasi di mana kehidupan ekonomi keluarganya mulai membaik.
Hal ini ditunjang oleh keberhasilan karier politik penulisnya yang menjadi
wakil NU di majelis Konstituante pada pemilu 1955. Indikator membaiknya kondisi
ekonomi ini misalnya dapat dilihat dari keberangkatan putra sulungnya Cholil ke
Makkah selama 3 tahun pada usia 17 tahun dan Mustofa ke al-Azhar Mesir selama 6
tahun pada usia yang tidak jauh beda. Dari sisi sosial, status KH. Bisri
Mustofa makin diakui dan dihormati oleh masyarakat, semata-mata karena
perpaduannya yang unik antara kiai, politisi dan penulis buku.
Dari sini dapat diasumsikan, hampir keseluruhan atau setidaknya
sebagian besar tafsir al-Ibriz ditulis dalam situasi di mana kondisi penulisnya
berada dalam situasi yang cukup kondusif, jika dilihat dari segi sosial,
ekonomi dan politik. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan keadaan
KH. Bisri Mustofa pada zaman Jepang dan di awal masa kemerdekaan.[4]
Tafsir al-Ibriz disajikan dalam bentuknya yang sederhana. Ayat-ayat
al-Qur’an dimaknai ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna yang
ditulis dibawah kata perkata ayat al-Qur’an, lengkap dengan kedudukan dan
fungsi kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek dan lain sebagainya).
Bagi pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna
khas pesantren dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat
mengenali dan memahami makna dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan
model penyajian yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan
pembaca yang kurang akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika
diminta menguraikan kedudukan dan fungsi kata per-kata.[5]
Setelah ayat al-Qur’an diterjemahkan dengan makna gandul, di
sebelah luarnya yang dibatasi dengan garis disajikan kandungan al-Qur’an
(tafsir). Kadang-kadang, penafsir mengulas ayat per-ayat atau gabungan dari
beberapa ayat, tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau berhubungan dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau tidak.
Kadang-kadang, penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun
saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini
disebabkan karena ayat-ayat tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir
merasa tidak perlu berpanjang-panjang kata. Berbeda jika ayat tersebut
memerlukan penjelasan cukup panjang karena kandungan maknanya tidak mudah
dipahami. Tafsir dalam bentuk terjemahan itu sebenarnya diakui sendiri oleh
penafsirnya. Dengan merendah, penafsir merasa hanya njawa-ake (menjawakan/menerjemahkan)
dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari beragam tempat.[6]
Pada umumnya, panjang tafsir paralel dengan panjang ayat. Dalam
arti, penafsir sebisa mungkin menghindari keterangan panjang, jika ayatnya
pendek. Kesan itu dapat dibaca dari cara penafsir saat “menge-pas-kan”
berapa ayat dalam satu lembar dan berapa panjang tafsir yang disajikan.
Sehingga, tafsir sebuah ayat pada halaman sebelumnya tidak akan dimuat panjang
lebar di halaman berikutnya.
Pada ayat-ayat tertentu, penafsir merasa perlu memberikan catatan
tambahan, selain tafsirnya, dalam bentuk faedah atau tanbih (warning).
Bentuk pertama mengindikasikan suatu dorongan atau hal positif yang perlu
dilakukan. Sedang yang kedua berupa peringatan atau hal-hal yang seharusnya tidak
disalahpahami atau dilakukan oleh manusia. Tanbih juga kadang berisi
keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh) dengan ayat yang
lain.[7]
Terkait dengan raison d’etre (asbab al-nuzul) sebuah ayat,
penafsir memberikan keterangan secukupnya, misalnya surat ‘Abasa. Penafsir juga
kadang menjelaskan ayat-ayat tertentu yang sudah dinasakh oleh ayat
lain. Ketera-ngan ini tentu sangat berharga bagi pembaca awam sehingga tidak
terjebak pada pemahaman kaku ayat tertentu padahal ayat tersebut sudah dihapus
oleh ayat sesudahnya.
Pada umumnya, penafsir saat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak
menggunakan rujukan tertentu, tidak ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan
yang lainnya. Kadang-kadang ditemukan, penafsir menafsirkan satu ayat dengan
ayat atau hadits lain, tetapi sangat jarang terjadi.
Apakah al-Ibriz ditulis secara kronologis dari surat al-Fatihah
sampai surat al-Nas ataukah tidak, tidak diperoleh data yang memadai. Begitu
pula dengan waktunya, apakah ditulis tanpa putus selama bertahun-tahun ataukah
putus-sambung. Kebiasaan selalu membawa alat tulis dan kertas, ditam-bah
banyaknya tulisan dalam bentuk terjemahan atau yang lainnya, sangat menyulitkan
keluarga dekat untuk mengetahui apakah ia sedang menyusun tafsir atau menulis
buku yang lain.
Lepas dari pertanyaan di atas yang belum terjawab, sistematika
tafsir al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya, dimulai dari surat al-Fatihah
sampai surat al-Nash. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-ayat
berikutnya sampai selesai.[8]
Tafsir al-Ibriz dijilid dan dipublikasikan per-juz, sehingga
terdapat 30 jilid. Tidak ditemukan keterangan, mengapa tafsir ini tidak
dibukukan dalam satu jilid, sehingga mudah dibawa keseluruhannya. Apakah
semata-mata pertimbangan penerbit yang menginginkan agar al-Ibriz dapat dibeli
per-juz sehingga tidak terlalu mahal harganya, karena target marketnya adalah
kelas pedesaan dan masyarakat pesantren, ataukah karena keinginan penafsirnya?
Sepanjang pengamatan penulis, tafsir al-Ibriz yang dijilid per-juz
ini memiliki kelebihan bagi pembacanya. Di pondok pesantren peninggalan KH.
Bisri Mustofa, sampai sekarang masih diajarkan tafsir al-Ibriz setiap hari
Jum’at yang diasuh oleh KH. Mustofa Bisri. Pengajian ini tidak diikuti oleh
santri mukim (pondok) yang setiap ba’da subuh mengaji tafsir Jalalain, tetapi
diikuti oleh santri lajo (berangkat pagi dan pulang siang pada hari itu
juga) yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren. Mereka terdiri dari
laki-laki dan perempuan, tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar naik sepeda
ontel, sebagian yang lain naik sepeda motor dan angkutan (dokar atau mobil).
Dengan format dijilid per juz, tafsir ini sangat ringan dan mudah dibawa sehingga
tidak menyulitkan bagi pembacanya.[9]
Tafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab
pegon). Pilihan huruf dan bahasa ini tentu melalui pertimbangan matang oleh
penafsirnya. Pertama, bahasa Jawa adalah bahasa ibu penafsir yang digunakan
sehari-hari, meskipun ia juga memiliki kemampuan menulis dalam bahasa
Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibriz ini tampaknya ditujukan kepada warga
pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa
Jawa. Karena yang hendak disapa oleh penulis tafsir al-Ibriz adalah audiens dengan
karakter di atas, maka penggunaan huruf dan bahasa di atas sangat tepat.[10] Merujuk pada
kelahiran Nabi Muhammad di Makkah dan berbahasa Arab, sehingga al-Qur’an-pun
diturunkan dengan bahasa Arab, maka tafsir al-Ibriz yang ditulis dengan huruf
Arab dan berbahasa Jawa adalah bagian dari upaya penafsirnya untuk membumikan
al-Qur’an yang berbahasa langit (Arab dan Makkah) ke dalam bahasa bumi (Jawa)
agar mudah dipahami.
Memang benar, dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon, tafsir ini
menjadi eksklusif, dibaca dan hanya dipahami oleh orang-orang yang familiar
dengan bahasa Jawa dan huruf Arab (santri). Itu berarti, tidak setiap orang
mampu mengakses tulisan dan bahasa dengan karakter tersebut. Tetapi dari sudut
pandang hermeneutik, orang tidak akan meragukan otentisitas dan validitas
gagasan yang dituangkan penulisnya, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa
yang sangat dikuasainya dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.
Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi
masyarakat pesantren yang nota bene adalah warga desa yang lebih akrab
dengan bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan
bahasa Jawa dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan
kata-kata bahasa Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih
halus. Bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa dari kromo inggil sampai ngoko
kasar, yang dapat menyampaikan pesan kasar dengan ragam bahasa yang halus.
Gaya bahasa tafsir al-Ibriz sangat sederhana dan mudah dipahami.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko halus dengan struktur sederhana.
Tutur bahasanya populer dan tidak jlimet. Meski harus diakui, jika
dibaca oleh generasi sekarang kadang mengalami kesulitan karena kendala bahasa
dan kebiasaan yang dianut.
Berdasar peta metodologi yang disampaikan oleh al-Farmawi dan yang
sealiran dengannya, tafsir al-Ibriz disusun dengan metode tahlili, yakni
suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang
urutannya disesuaikan dengan tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna
ayat tersebut dapat berupa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan
kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi,
sahabat maupun tabi’in.
Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul, sedang
penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini,
kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail, sehingga siapapun yang
membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini kedudukan sebagai fi’il, fa’il,
maf’ul dan lain sebagainya.[11]
Dalam konteks hermeneutika, makna gandul ini paralel dengan
analisis bahasa yang sangat penting dalam mengungkap struktur bahasa yang menjebak.
Kelalaian dari sisi ini mengakibatkan lahirnya tafsir yang misleading
karena tidak memahami anatomi bahasa yang ditafsirkan. Padahal, di balik
gramatika sebuah tafsir tersimpan makna dan maksud penafsir yang diinginkan.
Di dalamnya, tersembunyi kepentingan ekonomi, sosial dan politik seorang penafsir.
Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam tafsir
al-Ibriz adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat
al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ibriz adalah tafsir yang sangat sederhana.
Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan terjemahannya.
Sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam, diberikan keterangan
secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir berdasarkan ayat al-Qur’an yang lain,
hadits atau bahkan ra’yu, tetapi tidaklah dominan dan terjadi dengan makna
sangat sederhana.[12]
Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir al-Ibriz menggunakan metode
analitis dalam kategori komponen eksternal. Artinya, penafsiran dilakukan
melalui makna kata per-kata, selanjutnya dijelaskan makna satu ayat seutuhnya.
Istilah teknik dipakai oleh Yunan Yusuf yang tampaknya memiliki
kesamaan makna dengan metode menurut al-Farmawi maupun Baidan. Teknik tafsir
ini ada dua; kata per-kata atau keseluruhan ayat. Berdasarkan pandang-an ini,
teknik tafsir al-Ibriz menggunakan cara yang pertama, yaitu kata per-kata,
setelah itu baru dijelaskan keseluruhan makna satu ayat, baik dengan keterangan
panjang maupun pendek.[13]
Sebagaimana istilah teknik, istilah aliran hanya dipakai oleh Yunan
Yusuf. Yunan membagi aliran tafsir menjadi dua; liberal dan tradisional. Dari
kacamata ini, tafsir al-Ibriz masuk kategori yang kedua. Dalam wacana pemikiran
Islam, kategori tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-doktrin
Islam, normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream. Meskipun
demikian, dalam hal teologis, KH. Bisri Mustofa cenderung kepada pemikir-an
Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah. Dalam konteks ini, pemikiran KH. Bisri Mustofa
masuk kategori liberal, karena selama ini Mu’tazilah dikenal sebagai pemikir
yang rasional dan liberal.
Istilah bentuk tafsir hanya dipakai oleh Baidan dalam pemetaan
me-todologinya. Menurutnya, bentuk tafsir dibagi dua; ma’tsur dan ra’yu.
Me-ngacu pada pendapat ini, tafsir al-Ibriz condong masuk kategori pertama
dalam bentuknya yang sederhana, karena penafsir tidak secara langsung
mendasarkan penafsirannya pada ayat-ayat al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi
Muhammad.[14]
Dua istilah ini masing-masing dikemukakan oleh Yunan Yusuf dan Baidan.
Meskipun berbeda, kedua istilah tersebut memiliki kesamaan makna, yakni ciri
khas atau kecenderungan yang dimiliki oleh sebuah tafsir, misalnya bercorak
fiqhi, falsafi, shufi, sosial-kemasyarakatan dan lain-lain.
Sejauh penelitian penulis, pendekatan atau corak tafsir al-Ibriz
tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz
cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi.
Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu
yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi antara
fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi ini harus diletakkan dalam artian yang
sangat sederhana. Sebab jika dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang
bercorak tertentu sangat kuat seperti misalnya tafsir Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash
yang bercorak fiqhi, maka tafsir al-Ibriz jauh berada di bawahnya.
Dari kajian di atas, ditemukan kesimpulan sebagai berikut: Tafsir
al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa disusun dengan metode tahlili, yakni
suatu metode yang menjelaskan al-Qur’an secara kata per-kata sesuai tertib
susunan ayat al-Qur’an. Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul
sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Makna gandul ini
dibarengi dengan analisis bahasa yang berguna untuk mengungkap struktur
bahasa.
Dari sisi karakteristik, tafsir
al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an.
Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu
corak tertentu. Tafsir ini merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung
isi tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir, tafsir al-Ibriz termasuk
beraliran tradisional dan ma’tsur dalam artian yang sederhana.
Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir
Arab-Pegon Al-Ibriz, Jurnal “Analisa” Volume XVIII,
No. 01, Januari - Juni 201
Bishri Musthofa, Al-Ibriz li
Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz juz 1-10, Kudus: Menara Kudus, t.t,
[1] http://just4th.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-dan-biografi-lengkap-kh-bisri.html diakses pada
tanggal 24 April 2017 pukul 20.17 wib
[2] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir
Arab-Pegon Al-Ibriz, Jurnal “Analisa” Volume XVIII,
No. 01, Januari - Juni 201, hal. 32
[3] ibid
[4] Ibid, hal. 33
[5] Bishri
Musthofa, Al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz juz 1-10, Kudus:
Menara Kudus, t.t, hal. 2
[6] ibid
[7] ibid
[8] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik............... hal. 34
[9] ibid
[10] Bishri
Musthofa, Al-Ibriz............ hal. 2
[11] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik............... hal. 36
[12] ibid
[13] Ibid, hal. 36
[14] Ibid, hal. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar