Rabu, 07 Juni 2017

TAFSIR AL IBRIZ KARYA KH. BISRI MUSTHOFA



Disusun
guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pemikiran Tafsir Indonesia
Dosen Pengampu: Shofaussamawati, M.Ag., M.S.I











Disusun oleh:
M. Nurun Ni’am                     NIM. 1530110059
Anik Lestari Masruroh            NIM. 1530110060
Siti Hardiyanti Hasanah          NIM. 15301100   .
Anik Rif’atul Uluwiyah          NIM. 15301100   .
M. Musthofa                           NIM. 15301100    .







 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / IQT 4B
2017


Contents




BAB I
PENDAHULUAN
Satu dari beberapa karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup fenomenal , adalah al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH Bisri Musthofa, seorang ulama kharismatis dan ‘materialistis’ asal Rembang Jawa Tengah. Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai dari Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas.
Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karya tafsir Kiai Bisri ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji dan diaji oleh para santri, dari sejak kemunculannya hingga kini. Seperti dituturkan penulisnya, karya ini, antara lain, memang ditujukan untuk para santri pesantren. Sehingga tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di kalangan pesantren dan tidak di luar pesantren. Dan dengan penggunaan bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana pesantren di Jawa.
1.      Bagaimana Biografi KH Bisri Musthofa?
2.      Apa Motif Dibalik Penyusunannya?
3.      Bagaimana Aspek Teknis Penulisan Tafsir?
4.      Bagaimana Aspek Metode Tafsir?


A.    Biografi singkat KH Bisri Musthofa
KH Bisri Musthofa, nama kecilnya Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah.
Kiai Bisri merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.
Kemampuan dan kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam.
KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.
Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.
Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan) Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena meninggal seminggu sebelum masa kampanye.
Kepergian Kiai Bisri untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya.[1]
Sebagai kitab suci, al-Qur’an menempati posisi sentral dalam kehidupan umat Islam. Ada dorongan yang sangat kuat untuk selalu menyelaraskan ke­hidupannya dengan tuntunan al-Qur’an. Dorongan ini tidak saja dimonopoli oleh umat Islam generasi pertama (para sahabat Nabi Muhammad dan seterusnya), tapi juga dialami oleh umat Islam terakhir nanti sekalipun. Terbukti selalu ada kelompok-kelompok yang mengklaim menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya hukum yang diterapkan di dalam hidupnya. Lebih dra­matis lagi, ekspresi itu kadang-kadang disalurkan justru menyalahi hukum Allah itu sendiri.
Motivasi utama seorang Muslim saat berusaha memahami dan menaf­sirkan al-Qur’an adalah motivasi religius, meski tak dinafikan ada motivasi lain seperti politik, ekonomi dan lain-lain. Ini juga yang melandasi KH. Bisri Mustofa saat menulis tafsir al-Ibriz. Karena ibadah dan semata-mata mencari ridho Allah, penafsir tergerak hatinya untuk membuka tabir rahasia ajaran-ajaran al-Qur’an yang terkadang tidak mudah dipahami. Adapun keuntungan ekonomi, sosial atau politik yang mengikuti penafsir setelah tafsirnya dipub­likasikan itu menjadi bagian dari berkah al-Qur’an kepadanya.
Menulis telah menjadi bagian penting dalam kehidupan KH. Bisri Mus­tofa. Selain untuk mendapatkan kepuasaan batin juga keuntungan ekonomis. Sejak nyantri di pesantren Kasingan, ketekunannya menulis sudah bisa dili­hat karena tuntutan keadaan ekonomi yang sangat minim. Menurut penu­turan Ny. Ma’rufah, pada waktu itu KH. Bisri Mustofa sering menerjemahkan kitab-kitab tertentu dan kemudian dijual kepada kawan-kawannya. Kegiatan ini tidaklah sulit karena ia dikenal sebagai santri yang memiliki kelebihan, terutama dalam bidang nahwu.[2]
Tidak ada data akurat yang menyebutkan kapan sebenarnya tafsir al-Ibriz mulai ditulis. Tetapi tafsir ini diselesaikan pada tanggal 29 Rajab 1379, berte­patan dengan tanggal 28 Januari 1960. Menurut keterangan Ny. Ma’rufah, tafsir al-Ibriz selesai ditulis setelah kelahiran putrinya yang terakhir (Atikah) sekitar tahun 1964. Pada tahun ini pula, tafsir al-Ibriz untuk pertama kalinya dicetak oleh penerbit Menara Kudus. Penerbitan tafsir ini tidak disertai per­janjian yang jelas, apakah dengan sistem royalti atau borongan.[3]
Boleh jadi jauh pada tahun-tahun sebelumnya, KH. Bisri Mustofa telah lama menulis dan menafsirkan al-Qur’an dan tidak seorangpun dari keluar-ganya yang tahu. Selain di rumah, KH. Bisri Mustofa memiliki kebiasan mem­bawa alat tulis dan kertas saat bepergian untuk pengajian.
Jika menilik tahun diselesaikannya tafsir al-Ibriz, tafsir ini final ditulis pada situasi di mana kehidupan ekonomi keluarganya mulai membaik. Hal ini ditunjang oleh keberhasilan karier politik penulisnya yang menjadi wakil NU di majelis Konstituante pada pemilu 1955. Indikator membaiknya kon­disi ekonomi ini misalnya dapat dilihat dari keberangkatan putra sulungnya Cholil ke Makkah selama 3 tahun pada usia 17 tahun dan Mustofa ke al-Azhar Mesir selama 6 tahun pada usia yang tidak jauh beda. Dari sisi sosial, status KH. Bisri Mustofa makin diakui dan dihormati oleh masyarakat, semata-mata karena perpaduannya yang unik antara kiai, politisi dan penulis buku.
Dari sini dapat diasumsikan, hampir keseluruhan atau setidaknya sebagian besar tafsir al-Ibriz ditulis dalam situasi di mana kondisi penulisnya be­rada dalam situasi yang cukup kondusif, jika dilihat dari segi sosial, ekonomi dan politik. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan keadaan KH. Bisri Mustofa pada zaman Jepang dan di awal masa kemerdekaan.[4]
Tafsir al-Ibriz disajikan dalam bentuknya yang sederhana. Ayat-ayat al-Qur’an dimaknai ayat per-ayat dengan makna gandhul (makna yang ditulis dibawah kata perkata ayat al-Qur’an, lengkap dengan kedudukan dan fungsi kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek dan lain sebagainya). Bagi pembaca tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas pesantren dan unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami makna dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca yang kurang akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika diminta menguraikan kedudukan dan fungsi kata per-kata.[5]
Setelah ayat al-Qur’an diterjemahkan dengan makna gandul, di sebelah luarnya yang dibatasi dengan garis disajikan kandungan al-Qur’an (tafsir). Kadang-kadang, penafsir mengulas ayat per-ayat atau gabungan dari beber­apa ayat, tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau berhubungan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau tidak.
Kadang-kadang, penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apa­pun saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini disebabkan karena ayat-ayat tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir merasa tidak perlu berpanjang-panjang kata. Berbeda jika ayat terse­but memerlukan penjelasan cukup panjang karena kandungan maknanya ti­dak mudah dipahami. Tafsir dalam bentuk terjemahan itu sebenarnya diakui sendiri oleh penafsirnya. Dengan merendah, penafsir merasa hanya njawa-ake (menjawakan/menerjemahkan) dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari beragam tempat.[6]
Pada umumnya, panjang tafsir paralel dengan panjang ayat. Dalam arti, penafsir sebisa mungkin menghindari keterangan panjang, jika ayatnya pendek. Kesan itu dapat dibaca dari cara penafsir saat “menge-pas-kan” bera­pa ayat dalam satu lembar dan berapa panjang tafsir yang disajikan. Sehingga, tafsir sebuah ayat pada halaman sebelumnya tidak akan dimuat panjang lebar di halaman berikutnya.
Pada ayat-ayat tertentu, penafsir merasa perlu memberikan catatan tambahan, selain tafsirnya, dalam bentuk faedah atau tanbih (warning). Bentuk pertama mengindikasikan suatu dorongan atau hal positif yang perlu dilaku­kan. Sedang yang kedua berupa peringatan atau hal-hal yang seharusnya ti­dak disalahpahami atau dilakukan oleh manusia. Tanbih juga kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh) dengan ayat yang lain.[7]
Terkait dengan raison d’etre (asbab al-nuzul) sebuah ayat, penafsir memberikan keterangan secukupnya, misalnya surat ‘Abasa. Penafsir juga kadang menjelaskan ayat-ayat tertentu yang sudah dinasakh oleh ayat lain. Ketera-ngan ini tentu sangat berharga bagi pembaca awam sehingga tidak terjebak pada pemahaman kaku ayat tertentu padahal ayat tersebut sudah dihapus oleh ayat sesudahnya.
Pada umumnya, penafsir saat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak menggunakan rujukan tertentu, tidak ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan yang lainnya. Kadang-kadang ditemukan, penafsir menafsirkan satu ayat dengan ayat atau hadits lain, tetapi sangat jarang terjadi.
Apakah al-Ibriz ditulis secara kronologis dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas ataukah tidak, tidak diperoleh data yang memadai. Begitu pula dengan waktunya, apakah ditulis tanpa putus selama bertahun-tahun atau­kah putus-sambung. Kebiasaan selalu membawa alat tulis dan kertas, ditam-bah banyaknya tulisan dalam bentuk terjemahan atau yang lainnya, sangat menyulitkan keluarga dekat untuk mengetahui apakah ia sedang menyusun tafsir atau menulis buku yang lain.
Lepas dari pertanyaan di atas yang belum terjawab, sistematika tafsir al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya, dimulai dari surat al-Fatihah sampai su­rat al-Nash. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-ayat berikutnya sampai selesai.[8]
Tafsir al-Ibriz dijilid dan dipublikasikan per-juz, sehingga terdapat 30 ji­lid. Tidak ditemukan keterangan, mengapa tafsir ini tidak dibukukan dalam satu jilid, sehingga mudah dibawa keseluruhannya. Apakah semata-mata pertimbangan penerbit yang menginginkan agar al-Ibriz dapat dibeli per-juz sehingga tidak terlalu mahal harganya, karena target marketnya adalah kelas pedesaan dan masyarakat pesantren, ataukah karena keinginan penafsirnya?
Sepanjang pengamatan penulis, tafsir al-Ibriz yang dijilid per-juz ini memiliki kelebihan bagi pembacanya. Di pondok pesantren peninggalan KH. Bisri Mustofa, sampai sekarang masih diajarkan tafsir al-Ibriz setiap hari Jum’at yang diasuh oleh KH. Mustofa Bisri. Pengajian ini tidak diikuti oleh santri mukim (pondok) yang setiap ba’da subuh mengaji tafsir Jalalain, teta­pi diikuti oleh santri lajo (berangkat pagi dan pulang siang pada hari itu juga) yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar naik sepeda ontel, sebagian yang lain naik sepeda motor dan angkutan (dokar atau mobil). Dengan format dijilid per juz, tafsir ini sangat ringan dan mudah dibawa se­hingga tidak menyulitkan bagi pembacanya.[9]
Tafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pegon). Pilihan huruf dan bahasa ini tentu melalui pertimbangan matang oleh penafsirnya. Pertama, bahasa Jawa adalah bahasa ibu penafsir yang digunakan sehari-hari, meskipun ia juga memiliki kemampuan menulis dalam ba­hasa Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibriz ini tampaknya ditujukan kepada warga pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa. Karena yang hendak disapa oleh penulis tafsir al-Ibriz adalah audiens dengan karakter di atas, maka penggunaan huruf dan bahasa di atas sangat tepat.[10] Merujuk pada kelahiran Nabi Muhammad di Makkah dan berbahasa Arab, sehingga al-Qur’an-pun diturunkan dengan bahasa Arab, maka tafsir al-Ibriz yang ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa adalah bagian dari upaya penafsirnya untuk membumikan al-Qur’an yang berbahasa langit (Arab dan Makkah) ke dalam bahasa bumi (Jawa) agar mu­dah dipahami.
Memang benar, dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon, tafsir ini menjadi eksklusif, dibaca dan hanya dipahami oleh orang-orang yang familiar dengan bahasa Jawa dan huruf Arab (santri). Itu berarti, tidak setiap orang mampu mengakses tulisan dan bahasa dengan karakter tersebut. Tetapi dari sudut pandang hermeneutik, orang tidak akan meragukan otentisitas dan validitas gagasan yang dituangkan penulisnya, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sangat dikuasainya dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.
Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi masyarakat pesantren yang nota bene adalah warga desa yang lebih akrab den­gan bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan bahasa Jawa dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan kata-kata bahasa Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih halus. Bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa dari kromo inggil sampai ngo­ko kasar, yang dapat menyampaikan pesan kasar dengan ragam bahasa yang halus.
Gaya bahasa tafsir al-Ibriz sangat sederhana dan mudah dipahami. Baha­sa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko halus dengan struktur sederha­na. Tutur bahasanya populer dan tidak jlimet. Meski harus diakui, jika dibaca oleh generasi sekarang kadang mengalami kesulitan karena kendala bahasa dan kebiasaan yang dianut.
Berdasar peta metodologi yang disampaikan oleh al-Farmawi dan yang sealiran dengannya, tafsir al-Ibriz disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan mak­na-makna ayat tersebut dapat berupa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.
Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul, sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini, kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail, sehingga siapapun yang membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini kedudukan sebagai fi’il, fa’il, maf’ul dan lain sebagainya.[11]
Dalam konteks hermeneutika, makna gandul ini paralel dengan analisis bahasa yang sangat penting dalam mengungkap struktur bahasa yang men­jebak. Kelalaian dari sisi ini mengakibatkan lahirnya tafsir yang misleading karena tidak memahami anatomi bahasa yang ditafsirkan. Padahal, di ba­lik gramatika sebuah tafsir tersimpan makna dan maksud penafsir yang di­inginkan. Di dalamnya, tersembunyi kepentingan ekonomi, sosial dan politik seorang penafsir.
Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ibriz adalah tafsir yang sangat seder­hana. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan ter­jemahannya. Sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam, di­berikan keterangan secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir berdasarkan ayat al-Qur’an yang lain, hadits atau bahkan ra’yu, tetapi tidaklah dominan dan terjadi dengan makna sangat sederhana.[12]
Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir al-Ibriz menggunakan metode analitis dalam kategori komponen eksternal. Artinya, penafsiran dilakukan melalui makna kata per-kata, selanjutnya dijelaskan makna satu ayat seutuhnya.
Istilah teknik dipakai oleh Yunan Yusuf yang tampaknya memiliki kesamaan makna dengan metode menurut al-Farmawi maupun Baidan. Teknik tafsir ini ada dua; kata per-kata atau keseluruhan ayat. Berdasarkan pandang-an ini, teknik tafsir al-Ibriz menggunakan cara yang pertama, yaitu kata per-kata, setelah itu baru dijelaskan keseluruhan makna satu ayat, baik dengan keterangan panjang maupun pendek.[13]
Sebagaimana istilah teknik, istilah aliran hanya dipakai oleh Yunan Yusuf. Yunan membagi aliran tafsir menjadi dua; liberal dan tradisional. Dari kacamata ini, tafsir al-Ibriz masuk kategori yang kedua. Dalam wacana pe­mikiran Islam, kategori tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-dok­trin Islam, normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream. Meskipun demikian, dalam hal teologis, KH. Bisri Mustofa cenderung kepada pemikir-an Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah. Dalam konteks ini, pemikiran KH. Bisri Mustofa masuk kategori liberal, karena selama ini Mu’tazilah dikenal sebagai pemikir yang rasional dan liberal.
Istilah bentuk tafsir hanya dipakai oleh Baidan dalam pemetaan me-todologinya. Menurutnya, bentuk tafsir dibagi dua; ma’tsur dan ra’yu. Me-ngacu pada pendapat ini, tafsir al-Ibriz condong masuk kategori pertama dalam bentuknya yang sederhana, karena penafsir tidak secara langsung mendasarkan penafsirannya pada ayat-ayat al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi Muhammad.[14]
Dua istilah ini masing-masing dikemukakan oleh Yunan Yusuf dan Baidan. Meskipun berbeda, kedua istilah tersebut memiliki kesamaan makna, yakni ciri khas atau kecenderungan yang dimiliki oleh sebuah tafsir, misalnya bercorak fiqhi, falsafi, shufi, sosial-kemasyarakatan dan lain-lain.
Sejauh penelitian penulis, pendekatan atau corak tafsir al-Ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi an­tara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi ini harus diletakkan dalam artian yang sangat sederhana. Sebab jika dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang bercorak tertentu sangat kuat seperti misalnya tafsir Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash yang bercorak fiqhi, maka tafsir al-Ibriz jauh berada di bawahnya.


Dari kajian di atas, ditemukan kesimpulan sebagai berikut: Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan al-Qur’an secara kata per-kata sesuai tertib susunan ayat al-Qur’an. Makna kata per-kata disusun dengan sistem makna gandul sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Makna gandul ini di­barengi dengan analisis bahasa yang berguna untuk mengungkap struktur bahasa.
Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelas­kan kandungan ayat al-Qur’an. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memi­liki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Tafsir ini merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir, tafsir al-Ibriz termasuk beraliran tradisional dan ma’tsur dalam artian yang sederhana.




Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz, Jurnal Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 201
Bishri Musthofa, Al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz juz 1-10, Kudus: Menara Kudus, t.t,


[2] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz, Jurnal Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 201, hal. 32
[3] ibid
[4] Ibid, hal. 33
[5] Bishri Musthofa, Al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz juz 1-10, Kudus: Menara Kudus, t.t, hal. 2
[6] ibid
[7] ibid
[8] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik............... hal. 34
[9] ibid
[10] Bishri Musthofa, Al-Ibriz............ hal. 2
[11] Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik............... hal. 36
[12] ibid
[13] Ibid, hal. 36
[14] Ibid, hal. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...