BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al Qur’an yang dalam
memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut
dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala
sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam
realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al
Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran
kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan
kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri
dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an.
Namun karena
al-Qur’an ini muncul dan dibawa oleh orang yang lahir di tanah Arab, maka para
pemikir atau ulama yang mencurahkan perhatiannya pada kitab ini pun banyak
muncul dari dataran Arab, Persia dan sekitarnya, sekalipun hal ini tidak
menafikan adanya kitab tafsir yang juga ditulis oleh para ulama yang berasal
dari luar Arab dan Persia seperti Inggris dan tak terkecuali juga Indonesia.
Indonesia
adalah salah satu negara yang para ulamanya juga memberikan sumbangan pemikiran
kepada dunia melewati penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Salah
satu kitab tafsir itu adalah kitab yang bernama Marah labid atau juga
dikenal dengan tafsir al-Munir yang ditulis oleh seorang ulama agung yang
berasal dari desa Tanara, Banten, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani. Karya Syaikh
Nawawi ini adalah “al-Munir li Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain
“Marah labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”.
Nama Syaikh
Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering
terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam
Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama
Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan
wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani?
2. Apa Motivasi Syaikh Nawawi menyusun Tafsir Marah
Labid?
3. Bagaimana Karakteristik Tafsir Marah Labid?
4.
Bagaimana Sistematika Penulisan Tafsir Marah Labid?
5.
Bagaimana Metode Tafsir Marah Labid?
6. Bagaimana Corak Tafsir Marah
Labid?
7.
Bagaimana Pengaruh Tafsir Marah Labid?
C.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Syaikh Nawawi Banten
memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani.
Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, karena
beliau Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi atau Ulama’ yang berbangsa
Melayu.[1]
Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya
pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah
utara kota Serang.[2] Dari beberapa referensi
terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syaikh Nawawi al-Bantani,
tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syaikh Nawawi ini dilahirkan.Yang
disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun kelahirannya saja yaitu
pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender
Masehi).
Syaikh Nawawi hidup di
masa ketika semangat pembaharuan Islam bergema di kawasan Timur Tengah,
terutama Mesir. Ia hidup sejaman dengan tokoh garda depan gerakan Pan-Islamisme
(al-Wihdah al-Islamiyah)[3]
Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad Abduh (lahir 1349 M), dan tokoh
pembaharuan yang lain, Rifaah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873 M). Propaganda
gerakan pembaharuan tokoh-tokoh tersebut bergaung ke seluruh dunia muslim dan
mendapatkan momentum di negara muslim yang sedang bergulat dengan kolonialisasi
Barat dan pengaruhnya.
Syaikh Nawawi merupakan
putera Banten keturunan Sultan Hasanudin yang kesebelas. Seperti umumnya rakyat
Indonesia dan keturunan keluarga kerajaan Banten, Syaikh Nawawi al-Jawi adalah
seorang yang anti penjajah. Semangatnya mendalami agama ia cita-citakan untuk
membantu perlawanan rakyat terhadap penjajah kala itu. Hanya suratan takdir
yang membuatnya ‘’terdampar’’ di tanah suci Mekah dan malah menjadi ulama
tersohor di sana.
Ayahnya bernama Kiai
Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi
merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung
dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir,
Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.[4]
Semenjak kecil Kiai
Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan tentang keislaman langsung dari ayahnya
yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama
yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima
pelajaran dari orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh
sang ayah yang juga dikenal sebagai ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada
Kiai Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa
Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas. Bersama Kiai Yusuf, beliau
banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan
Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang
lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Pada usia 15 tahun, ia
mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia
memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis,
tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali
ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup
lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Syaikh Nawawi yang sejak
kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat
Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh
santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati Syaikh Nawawi telah
menyatu dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan
berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan
belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari
Syaikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia)
dan Syaikh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah
itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di
Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian
ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria).
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung
halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian
pada tahun 1860 Syaikh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram.
Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan
agamanya, ia tercatat sebagai Syaikh di sana.[5]
Pada tahun 1870
kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau
menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak
tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari
sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di
daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering
ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar
adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang
populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena
permintaan orang lain, Syaikh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya
pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Dalam menyusun
karyanya Syaikh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya,
sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari
berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana
terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke
berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang
tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya
ini nama Syaikh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di
abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’
al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mulaqqiq wa
al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam
menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang
untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk
membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa
pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai
beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar
proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Berkenaan dengan
Karya-karya Syaikh Nawawi, terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti
tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syaikh Nawawi ini. Di antaranya
adalah pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana Belanda) yang mengatakan
bahwa beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Dan pendapat yang lain
diusung oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa
beliau telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau
merupakan salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan
bagi instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa
pesantren di Nusantara.
Beberapa kalangan
lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi
berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir,
dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara
luas–Red) seperti Tafsir Marah labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah
al-Badiah, Nurazh Zhulam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz
Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin.
Salah satu karya
Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Mekkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir
li Ma’alim at-Tanzil, atau dalam judul lain, Marah labid Tafsir
an-Nawawi. Tafsir ini tergolong
masyhur. Bahkan pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di
negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah
masyhurnya dengan tafsir Jalalain. Nawawi
telah menulis, paling tidak, tentang 9 bidang ilmu pengetahuan : tafsir, ushul
ad-din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa arab, hadits, akhlak(
ajaran moral islam).
Nawawi menghembuskan
nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam
Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam
di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap
tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakanacara khaul untuk
memperingati jejak peninggalan Syaikh Nawawi Banten.
B. Motivasi menyusun Tafsir
Marah Labid
Nawawi mewakili non arab
yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa arab yag sangat indah. Nawawi
menampilkan a New classical tradisi tafsir, sebuah yang tetap
mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan. Namun, pada saat yang sama
menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Nawawi dipenngaruhi oleh pemikiran ulama’
sunni abad pertengahan, seperti karya-karya ibnu Umar Katsir al-Quraisi,
jalaludin ad-din Mahalli, jalaluddin as-Suyuti, dan yang sejenisnya. Nawawi
lebih bersandar pada, hadits, pendapat para sahabat, dan ulama salaf
terpercaya.
Kontribusi utama Nawawi
dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia
islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi
klasik islam. Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis
yang dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan
muslim untuk menulis tafsir karena adanya peringtan bahwa siapapun yang
mengomentari atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an di dasarkan pada
pendapatnya, ia telah melakukan sesuatu kekeliruan. Dan neraka akan menjadi
tempat kemballi bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri
benar-benar mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum dia memutuskan untuk
menulis tafsir, meskipun banyak orang meyakinkan dan mendukungnya untuk
menulis.
Nawawi menyadari betul
peringatan hadits tersebut, namun akhirnya dia menulis tafsir dengan pengakuan
bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukkan keshalihan ulama
salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh
manfaat darinya. Dia juga menyadari bahwa dia tidak akan mampu menyamai
karya-karya ulama salaf, tetapi dia yakin bahwa dalam setiap periode harus ada
pergantian dan pembaruan (tajdid).
C. Karakteristik Tafsir Marah
Labid
Kekhasan karya Nawawi
terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai
contoh dalam menafsirkan induk al-Qur’an (surah al-fatihah) dia menjelaskan
dalam surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan. Pertama,
tauhid, keesaan Tuhan atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam frase alhamdu
li Allah rabbi al-‘alamin, ar-rahman ar-rahim. Dan tugas-tugas Nabi
di dalam alladzina an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan
dalam yaum ad-din. Kedua, hukum islam dengan ibadah sebagai bagian
terpenting. Pada dasarnya, hukum islam terdiri atas aturan-aturan materiil
maupun fisik yang berkaitan dengan maslah kehidupan. Muamalah, kehidupan
sosial, dan pernikahan. Semua termuat dalam makna shiratal mustaqim.
Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas islam. Ini termasuk istiqamah
di jalan yang lurus. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in.
Keempat, sejarah atau kisah pada masa lampau. Kemuliaan yang perlu diteladani
berasal dari para nabi, dan sebaliknya bagaimana orang-orang yang merugi karena
mereka tidak beriman, sebagaiman termuat dalam alladzina an’amta ‘alaihim,
dan berikutnya dalam ghair al-maghdhubi ‘alaihimwa la adh-dhalin.[6]
Segi penting lain dari
kitab tafsir ini, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya adalah penekanannya
terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah (keimanan) dan keyakinan
kepada Tuhan dan petunjuk-Nya. Bisa kita lihat dalam muqaddimah dan khatimah
kitab ini. Dia selalu menaruh perhatian,terhadap kemaha kuasaan Allah dengan
memuji sifat pengasih dan penyayangNya. Di samping itu Nawawi tidak pernah lupa
menaruh pesan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai peringatan kepada para
pembaca. Dengan menguatkan keterkaitan firman-firman serta janji-janji Tuhan
dalam mencapai kebahagian hidup dengan mengikuti teladan para Nabi, orang-orang
terpercaya, para syuhada, dan para leluhur. Pesan amar ma’ruf nahi
munkar yang bisa dijumpai dalam sebagian literatur sunni, mu’tazili, dan
sunni, menunjukkan dorongan kepada kaum muslim untuk tetap menunjukkan
identitas yang lebih baik di mata Tuhan dan manusia.[7]
Penafsiran terhadap
al-qur’an yang dilakukan Imam Nawawi dengan tafsirnya yang berjudul Marah
labid yang terdiri dari dua jilid dan pertama kali diterbitkan pada tahun
1887, dan tafsir ini lebih dikenal dalam masyarakat dengan nama tafsir munir.
Penamaan Al-Munir
sendiri diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan nama yang diberikan oleh imam
Nawawi adalah Marah labid. Arti dari Marah labid sendiri secara
kebahasaan adalah “terminal burung” atau dengan istilah lain “ tempat
peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”.
Adapun Karakteristik
dari tafsir al-Munir atau Marah labid diantaranya:
1.
Penafsiran baru dimulai dari halaman ke dua sedangkan halaman
pertama dimulai dengan pembukaan.
2.
Terdapat kolofon atau penjelasan di bagian akhir tentang penafsiran
pada jilid 1 dan jilid 2.
3.
Page ayat selalu berada di dalam kurung.
4.
Huruf-huruf muqoto’ah tidak ditafsirkan, walaupun ada yang
ditafsirkan itu juga menggunkan kata (قيل)
yang nilainya ini pun dikategorikan lemah.
5.
Terkadang menggunakan kata (ayyu hadza) sebelum penafsiran.
Akan tetapi ada juga yang tidak.
6.
Diawali dengan penyebutan nama surat, periode makiyyah dan madaniyyah.
7.
Terdapat penyebutan tentang jumlah ayat bahkan menyebutkan jumlah
huruf dan jumlah kalimat. Hal ini menunjukan bahwa beliau itu sangat teliti.
8.
Terdapat juga penjelasan tentag asbabun nuzul, ragam qiraat,
dan penjelsan tentang nahwu dan sharaf.[8]
D.
Sistematika Penulisan Tafsir Marah Labid
Alasan yang mendasari
percetakan dan penulisan Marah labid ini, sumber referensi menyebutkan
ada dua kemungkinan yaitu; Pertama, Syaikh Nawawi dikenal sebagai
pemimpin Koloni Jawa di Mekkah yang memperoleh penghormatan paling besar.
Sehingga masyarakat jawa pada waktu itu memintanya untuk memberikan ilmu
pengetahuannya mengenai al-Quran. Kedua, literatur tafsir di Indonesia
yang lengkap sebanyak 30 juz sampai abad 18-an hanyalah Tafsir Tarjuman
al-Mustafîdh karya ‘Abd Ra’uf Singkili dan itupun ditulis dalam bahasa
Melayu sehingga tidak menutup kemungkinan mereka tidak puas dengan merujuk
kepada satu kitab.
Praktisnya, permintaan
ini tidak langsung ditanggapi oleh Imam Nawawi. Akan tetapi, Imam Nawawi justru
seakan-akan takut untuk melangkah. Berdasarkan referensi bahwa ketakutan ini
merupakan refleksi dari sifat ihtiath (hati-hati) yang dimilkinya. Lebih
lanjutnya Nawawi mengungkapkan bahwa ketakutan tersebut lebih karena adanya
pagar ketat yang tersurat dalam hadist Rasul Muhammad SAW yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فى الْقُرْآنِ بِرَأِّيِهِ فَأ َصَابَ فَقَدْ أخْطَأ
“Rasul SAW bersabda: “Barang siapa menafsirkan (berkomentar)
al-Quran dengan mengedepankan pemikirannya, meskipun penafsirannya benar, maka
ia telah bersalah”.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَال فى الْقُرْآنِ بِرَأِّ ْيِهِ، فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Rasul SAW bersabda:”Barang siapa menafsirkan al-Quran dengan
berdasarkan pada pemikirannya, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduk di
dalam neraka”.
Setelah sekian lama
waktu berjalan, permintaan rekan-rekannya untuk tetap menulis tafsir akhirnya
terwujud akhirnya Imam Nawawi memutuskan untuk menulis tafsir. Dalam tafsir Marah
labid ini Imam Nawawi menampakan konsisitensi kehati-hatiannya. Buktinya
adalah dalam penulisan tafsir tersebut Nawawi tidak mengedepankan ide-idenya
saja, namun ia mengikuti dan mengutip kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah (sudah
diakui) yang telah ditulis ulama sebelumnya. Adapun salah satu karya yang
dijadikan rujukan adalah Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhr al-Din
al-Razi.
Pada jilid pertama Marah
labid ini di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan surah al-kahfi dan
jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas. Penafsiaran yang terlihat
dalam kitab Marah labid terdapat di dalam garis, sedangkan di luar garis
adalah kitab al-wajiz tafsir al-qur’an al-aziz oleh Imam Ali bin Ahmad
al-Wahidi yang meninggal pada tahun 468 H.
Adapun sistematika
Penulisan Tafsir ini, mengikuti sistematika sesuai dengan urutan-urutan dalam
mushaf. Yakni, dimulai dari awal surat, al-Fatihah terus berurutan
hingga an-Nas.
E.
Metode Tafsir Marah Labid
Metodologi penafsiran
adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada umumnya metode penafsiran terbagi
menjadi empat, yaitu metode ijmali (global), tahlili (analitis), muqoron
(perbandingan), maudhu’i (tematik). Metode penafsiran ijmali adalah metode
penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tetapi
komprehensif dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Metode penafsiran tahlili adalah metode yang berupaya menafsirkan ayat demi
ayat al-Qur’an dari setiap surah-surah al-Qur’an dengan seperangkat alat-alat
penafsiran (diantaranya asbabul nuzul, munasabat, nasikh mansukh dan
lain-lain). Metode penafsiran muqoron adalah metode penafsiran dengan
membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang berbeda bagi
kasus yang sama. Metode penafsiran maudhu’i adalah metode menafsirkan dengan
menghimpun semua ayat dari berbagai surah yang berbicara tentang satu masalah
tertentu yang dianggap menjadi tema sentral.[9]
Tafsir al-Munir ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan
metode ijmali (global). Dikatakan ijmali karena dalam menafsirkan setiap ayat,
Syaikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan padat, sehingga pun
mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun menuruti susunan ayat-ayat dalam
mushaf. Tafsir al Munir li Ma’alim at Tanzil terlihat sangat detail
dalam menafsirkan setiap kata per-kata pada setiap ayat, mungkin karena
kepiawian beliau dalam bidang bahasa yang tidak diragukan lagi. Tafsir Marâh
Labîd atau dikenal juga dengan nama Tafsir Munir merupakan tafsir
al-Quran yang style-nya mirip tafsir Jalâlain; campuran antara
model tafsir bi ma’tsur dan bi al-ra’y. Tafsir karya Syaikh
Nawawi al-Jawi tersebut memiliki corak tafsir periode pertengahan (afirmasi)
yang memberikan penjelasan secara global dan pendek-pendek dari ayat ke ayat
secara numerik dan sesekali mengupas i’rab lafal ayat. hal itu dapat
dimaklumi karena Syaikh Nawawi hidup dan berkembang di kawasan yang meskipun
kosmopolit tetapi kental dengan semangat Islam yang ortodoks. Di samping itu,
masa hidup Syaikh Nawawi adalah masa di mana tafsir tradisional model
pertengahan masih dalam momentum penafsiran yang dianut mayoritas umat Islam.
Berikut contoh penafsiran kata per-kata oleh Syaikh Nawawi dalam Kitab
tafsirnya:
)الحمد الله( والشكر لله بنعمه السوابغ على عباده الذين هداهم للإيمان )رب العالمين ( أى خالق الخلق ورازقهم ومحولهم من حال الى حال )الرحمن ( أى العاطف على البار والفاجر بالرزق لهم ودفع الآفات عنهم
Selain menggunakan
penafsiran metode ijmali dan tahlili, ternyata dalam kitab al-Munir kami juga
menemukan metode muqoron (perbandingan) pada penafsiran surah al-Fatihah
ayat 4 yang dibandingkan dengan surah al-Infithar ayat 19. Berikut
redaksi yang tertera dalam Kitab Tafsir al-Munir:
)ملك يوم الذين( بإثبا ت الألف عند عاصم والكسائي و يعقوب أى متصرف ي الأمر كله يوم القيامة كما قال تعالى يوم لا تملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ الله وعند الباقين بخذق الألف والمعنى أى المتصرف ي أمر القيامة با لأمر والنهى[10]
Maka, dengan demikian tafsir
al-Munir juga menggunakan metode penafsiran muqoron dilihat dari penafsiran
surah al-Fatihah ayat 4 tersebut meskipun kami belum menganalisis
seluruh penafsiran ayat secara keseluruhan.
F. Corak Tafsir Marah Labid
Kata corak dalam
literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun,
bahasa arab yang berarti warna. Jadi corak tafsir adalah nuansa atau sifat
khusus yang mewarnai sebuah penafsiran. Tafsir merupakan salah satu bentuk
ekspresi intelektual seorang mufasir ketika ia menjelaskan ujaran-ujaran
al-Quran sesuai dengan kemampuannya yang sekalipun mneggambarkan minat dan
horizon pengetahuan sang mufasir. Corak
tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan
merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia
menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran
atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir . kata kuncinya adalah
terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut.
Keanekaragaman corak
penafsiran sejalan dengan keanekaragaman disiplin ilmu yang berkembang pada
saat itu. Di sisi lain ilmu yang berkembang pada Abad pertengahan ini yang
bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu
tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat.[11]
Corak dari penulisan
kitab tafsir Marah labid adalah kebahasaan, karena ia mengaktualisasikan
penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasa yang digunakan al-Qur’an.
Karakter yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat detail, karena
kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak diragukan lagi.
Para ulama menilai Marah labid ini merupakan tafsir standar yang mudah
dimengerti oleh pembaca.
Uraiannya sederhana.
Tapi lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika
tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir
“Marah labid” Syaikh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara
sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan
pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung
untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup
mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu,
shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. Beliau sengaja
menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa
harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Disamping itu, corak yang digunakan oleh Imam Nawawi adalah menurut
referensi bahwa tafsir ini dikategorikan dalam corak riwayah/ mat’sur. Karena
tafsir ini belum memenuhi persyaratan untuk dikaitkan menempuh corak bi
rayi. Pernyataan ini dapat disimpulkan karena dalam permulaan pernyataan di
dalam tafsirnya pada bab pembukaan, Imam Nawawi mengatakan bahwa ia takut
menafsirkan al-Quran dengan tafsir pemikiran murninya (bil rayi) saja.
Hal ini terbukti dalam praktisnya bahwa Imam Nawawi banyak mengutip hadis-hadis
rasulullah saw, pendapat sahabat, tabiin, atau para tokoh yang dianggapnya mu’tabar
dalam menjelaskan ayat tertentu. Hal ini diperkuat dengan disebutkannya
nama beberapa sahabat dan tabi’in seperti Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud,
al-Dahak, dan Qatadah dalam menafsirkan ayat tertentu. Dalam hal periwayatan,
tafsir ini banyak menukil hadis, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa sanad.
Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan dirayah
Masih sisi lain dari
tafsir Nawawi bahwa dalam karya tafsirnya disisipkan berbagai kisah menarik.
Tersedia cukup banyak dan komprehensif, informasi tentang Asbabun Nuzul.
Semua itu didukung oleh kepandaian dan kelihaian gaya penulisannya, yang tak
seorangpun menyangkal bahwa Imam Nawawi memiliki background kuat dalam sastra dan tata bahasa arab.
Sejalan hal ini tafsirnya juga penuh dengan kekayaan explanasi linguistik
dan pendahuluan yang beragam dalm membaca al-qur’an oleh tujuh imam (qiraah
as-sab’ah).[12]
G.
Pengaruh Tafsir Marah Labid
Kemunculan Tafsir
al-Munir menandakan adanya perkembangan penulisan tafsir di Indonesia
sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang diberikan Syaikh Nawawi pada
tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah labid,
Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al Munir li Ma’alim al Tanzil. Tafsir
al-Munir pertama kali ditulis oleh Syaikh Nawawi pada tahun 1860-an dan
selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M), yang berarti
proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya
dalam menulis, Syaikh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama
Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang
dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 halaman
tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat al-Fâtihah sampai dengan asal
surat al-Kahfi, sedangkan jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai
dengan surat an-Nas.
Syaikh Nawawi Al-Bantani
merupakan salah satu ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki pengaruh besar
di kalangan masyarakat Nusantara dan bahkan sampai sekarang melalui generasi,
pengikut dan tulisannya. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah penulis yang sangat
produktif dan ulama yang memiliki pengetahuan multidimensi. Menurut catatan
beberapa muridnya dan generasi murid selanjutnya, tidak kurang dari 115 karya
yang ditulisnya dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Melalui kitab-kitabnya,
ia merefleksikan pandangan dan fatwanya. Dan kitab-kitab itu menempatkan posisi
teratas kitab-kitab paling berpengaruh dalam kurikulum pesantren-pesantren di
Nusantara maupun majelis-majelis keilmuan Islam lainnya hingga kini.
Seorang orientalis C.
Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan
mengamalkan kealimannya. Maka pantaslah, para ulama dan cendekiawan muslim
menempatkannya sebagai bapak gerakan intelektual Islam di Nusantara. Selain
itu, beliau juga dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan
pendirian yang khas, Syaikh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi
perjuangan umat Islam. Dan ini terbukti dalam menghadapi pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syaikh Nawawi misalnya, tidak
agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia
kooperatif dengan mereka. Syaikh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan
kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia
ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran
dan agama Allah SWT.
Figur ulama seperti
Syaikh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model
pemikiran demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik,
suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara
evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola
pemahaman dan pemikiran Syaikh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di
Indonesia, Syaikh Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari. akar tradisi
keilmuan pesantren.
BAB III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Nama Syaikh Nawawi
Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering
terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam
Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama
Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan
ajaran Islam yang menyejukkan.
Meskipun Syaikh Nawawi
berasal dari Indonesia namun karyanya yang tidak sedikit, diakui dan memberi
pengaruh terhadap perkembangan Islam, tidak saja di Asia Tenggara (khususnya
Indonesia) melainkan juga di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya.
Corak dari penulisan
kitab tafsir Marah labid adalah kebahasaan, karena ia mengaktualisasikan
penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasa yang digunakan
al-Qur’an. Karakter yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat
detail, karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak
diragukan lagi. Para ulama menilai Marah labid ini merupakan tafsir
standar yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Uraiannya sederhana.
Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat
beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak
menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur
balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan
lain sebagainya. Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca
langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud, Dari haramain ke nusantara,
Jejak keintelektualan arsitek pesantren, Jakarta, Kencana, 2006.
Ahmad Izzan , Metodologi Ilmu Tafsir,Bandung,Tafakur
2011
Albert Hourani,Pemikir Liberal di Dunia Arab, terj.
Suparno dkk, Bandung, Mizan, 2004
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara:
Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’ Nusantara, Jakarta,
Gelegar Media Indonesia,tt
Imam Nawawi, Marah labid Tafsir Munir, Beirut,
Darul Ilmi ,tt
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya,
Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz; Biografi
Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta, Pustaka Pesantren, LKiS Cet : I, 2009
[1] H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara:
Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’ Nusantara, (Jakarta:
Gelegar Media Indonesia,tt), h. 653.
[2] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syaikh
Nawawi al-Bantani. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, LKiS Cet : I, 2009), h.
9
[3] 5Pan-Islamisme merupakan ideologi yang mulai marak pada
tahun 1860-1870. Sultan Utsmani Abdul Aziz dan penerusnya, Abdul Hamid II yang
semula memiliki proyek ‘’imperialisme’’ terselubungnya ini. Pan-Islamisme ini
dengan bertujuan untuk menyatukan seluruh umat Islam di dunia di bawah
kepemimpinan kekhalifahan Turki Utsmani dari kekuatan Rusia yang kala itu mampu
memaksa imperium Utsmani bernegosiasi. Mekkah kala itu termasuk daerah yang
berada dalam kekuasaan imperium Utsmani. Pan-Islamisme yang diusung Jamaluddin
al-Afghani juga bertujuan menyatukan umat Islam dalam suatu wadah solidaritas ummah.
Namun, ia tidak mengusung semangat ini untuk kepentingan politik Turki
Utsmani. Albert Hourani,Pemikir Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno
dkk, (Bandung: Mizan, 2004), h. 165-175
[4] Abdurrahman Mas’ud, Dari haramain ke nusantara, Jejak
keintelektalan arsitek pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 110-112
[5] Ibid, h. 118
[6] Abdurahman Mas’ud, Dari Haramain...., h. 132.
[7] Ibid, h. 134.
[8] Imam Nawawi, Marah
Labid, (Beirut: Darul Ilmi ,tt)
[9] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya,
(Jakarta: Lentera Abdi, 2010), h. 68-74.
[10] Imam Nawawi, Marah labid..., h. 3
[11] Ahmad Izzan, Meteodologi Ilmu Tafsir, (Bandung:
Tafakur 2011), h. 199
[12] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain..., h.133-134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar