Rabu, 07 Juni 2017

Karakteristik Psikologi Imam Nawawi dalam karya tafsir marah labid



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an.
Namun karena al-Qur’an ini muncul dan dibawa oleh orang yang lahir di tanah Arab, maka para pemikir atau ulama yang mencurahkan perhatiannya pada kitab ini pun banyak muncul dari dataran Arab, Persia dan sekitarnya, sekalipun hal ini tidak menafikan adanya kitab tafsir yang juga ditulis oleh para ulama yang berasal dari luar Arab dan Persia seperti Inggris dan tak terkecuali juga Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang para ulamanya juga memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia melewati penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Salah satu kitab tafsir itu adalah kitab yang bernama Marah labid atau juga dikenal dengan tafsir al-Munir yang ditulis oleh seorang ulama agung yang berasal dari desa Tanara, Banten, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani. Karya Syaikh Nawawi ini adalah “al-Munir li Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”.
Nama Syaikh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani?
2.      Apa Motivasi Syaikh Nawawi menyusun Tafsir Marah Labid?
3.      Bagaimana Karakteristik Tafsir Marah Labid?
4.      Bagaimana Sistematika Penulisan Tafsir Marah Labid?
5.      Bagaimana Metode Tafsir Marah Labid?
6.      Bagaimana Corak Tafsir Marah Labid?
7.      Bagaimana Pengaruh Tafsir Marah Labid?

C.      
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Syaikh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, karena beliau Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.[1] Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang.[2] Dari beberapa referensi terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syaikh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syaikh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender Masehi).
Syaikh Nawawi hidup di masa ketika semangat pembaharuan Islam bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Ia hidup sejaman dengan tokoh garda depan gerakan Pan-Islamisme (al-Wihdah al-Islamiyah)[3] Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad Abduh (lahir 1349 M), dan tokoh pembaharuan yang lain, Rifaah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873 M). Propaganda gerakan pembaharuan tokoh-tokoh tersebut bergaung ke seluruh dunia muslim dan mendapatkan momentum di negara muslim yang sedang bergulat dengan kolonialisasi Barat dan pengaruhnya.
Syaikh Nawawi merupakan putera Banten keturunan Sultan Hasanudin yang kesebelas. Seperti umumnya rakyat Indonesia dan keturunan keluarga kerajaan Banten, Syaikh Nawawi al-Jawi adalah seorang yang anti penjajah. Semangatnya mendalami agama ia cita-citakan untuk membantu perlawanan rakyat terhadap penjajah kala itu. Hanya suratan takdir yang membuatnya ‘’terdampar’’ di tanah suci Mekah dan malah menjadi ulama tersohor di sana.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.[4]
Semenjak kecil Kiai Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas. Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Syaikh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati Syaikh Nawawi telah menyatu dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syaikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syaikh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syaikh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syaikh di sana.[5]
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang lain, Syaikh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syaikh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Syaikh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mulaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Berkenaan dengan Karya-karya Syaikh Nawawi, terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syaikh Nawawi ini. Di antaranya adalah pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana Belanda) yang mengatakan bahwa beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Dan pendapat yang lain diusung oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa beliau telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa pesantren di Nusantara.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Zhulam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin.
Salah satu karya Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Mekkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, atau dalam judul lain, Marah labid Tafsir an-Nawawi. Tafsir ini tergolong masyhur. Bahkan pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan tafsir Jalalain. Nawawi telah menulis, paling tidak, tentang 9 bidang ilmu pengetahuan : tafsir, ushul ad-din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa arab, hadits, akhlak( ajaran moral islam).
Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakanacara khaul untuk memperingati jejak peninggalan Syaikh Nawawi Banten.
B.     Motivasi menyusun Tafsir Marah Labid
Nawawi mewakili non arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa arab yag sangat indah. Nawawi menampilkan a New classical tradisi tafsir, sebuah yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan. Namun, pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Nawawi dipenngaruhi oleh pemikiran ulama’ sunni abad pertengahan, seperti karya-karya ibnu Umar Katsir al-Quraisi, jalaludin ad-din Mahalli, jalaluddin as-Suyuti, dan yang sejenisnya. Nawawi lebih bersandar pada, hadits, pendapat para sahabat, dan ulama salaf terpercaya.
Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik islam. Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis yang dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan muslim untuk menulis tafsir karena adanya peringtan bahwa siapapun yang mengomentari atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an di dasarkan pada pendapatnya, ia telah melakukan sesuatu kekeliruan. Dan neraka akan menjadi tempat kemballi bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri benar-benar mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum dia memutuskan untuk menulis tafsir, meskipun banyak orang meyakinkan dan mendukungnya untuk menulis.
Nawawi menyadari betul peringatan hadits tersebut, namun akhirnya dia menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukkan keshalihan ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh manfaat darinya. Dia juga menyadari bahwa dia tidak akan mampu menyamai karya-karya ulama salaf, tetapi dia yakin bahwa dalam setiap periode harus ada pergantian dan pembaruan (tajdid).
C.    Karakteristik Tafsir Marah Labid
Kekhasan karya Nawawi terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh dalam menafsirkan induk al-Qur’an (surah al-fatihah) dia menjelaskan dalam surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan. Pertama, tauhid, keesaan Tuhan atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam frase alhamdu li Allah rabbi al-‘alamin, ar-rahman ar-rahim. Dan tugas-tugas Nabi di dalam alladzina an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan dalam yaum ad-din. Kedua, hukum islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Pada dasarnya, hukum islam terdiri atas aturan-aturan materiil maupun fisik yang berkaitan dengan maslah kehidupan. Muamalah, kehidupan sosial, dan pernikahan. Semua termuat dalam makna shiratal mustaqim. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas islam. Ini termasuk istiqamah di jalan yang lurus. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in. Keempat, sejarah atau kisah pada masa lampau. Kemuliaan yang perlu diteladani berasal dari para nabi, dan sebaliknya bagaimana orang-orang yang merugi karena mereka tidak beriman, sebagaiman termuat dalam alladzina an’amta ‘alaihim, dan berikutnya dalam ghair al-maghdhubi ‘alaihimwa la adh-dhalin.[6]
Segi penting lain dari kitab tafsir ini, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya adalah penekanannya terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah (keimanan) dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuk-Nya. Bisa kita lihat dalam muqaddimah dan khatimah kitab ini. Dia selalu menaruh perhatian,terhadap kemaha kuasaan Allah dengan memuji sifat pengasih dan penyayangNya. Di samping itu Nawawi tidak pernah lupa menaruh pesan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai peringatan kepada para pembaca. Dengan menguatkan keterkaitan firman-firman serta janji-janji Tuhan dalam mencapai kebahagian hidup dengan mengikuti teladan para Nabi, orang-orang terpercaya, para syuhada, dan para leluhur. Pesan amar ma’ruf nahi munkar yang bisa dijumpai dalam sebagian literatur sunni, mu’tazili, dan sunni, menunjukkan dorongan kepada kaum muslim untuk tetap menunjukkan identitas yang lebih baik di mata Tuhan dan manusia.[7]
Penafsiran terhadap al-qur’an yang dilakukan Imam Nawawi dengan tafsirnya yang berjudul Marah labid yang terdiri dari dua jilid dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1887, dan tafsir ini lebih dikenal dalam masyarakat dengan nama tafsir munir.
Penamaan Al-Munir sendiri diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan nama yang diberikan oleh imam Nawawi adalah Marah labid. Arti dari Marah labid sendiri secara kebahasaan adalah “terminal burung” atau dengan istilah lain “ tempat peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”.
Adapun Karakteristik dari tafsir al-Munir atau Marah labid diantaranya:
1.      Penafsiran baru dimulai dari halaman ke dua sedangkan halaman pertama dimulai dengan pembukaan.
2.      Terdapat kolofon atau penjelasan di bagian akhir tentang penafsiran pada jilid 1 dan jilid 2.
3.      Page ayat selalu berada di dalam kurung.
4.      Huruf-huruf muqoto’ah tidak ditafsirkan, walaupun ada yang ditafsirkan itu juga menggunkan kata (قيل) yang nilainya ini pun dikategorikan lemah.
5.      Terkadang menggunakan kata (ayyu hadza) sebelum penafsiran. Akan tetapi ada juga yang tidak.
6.      Diawali dengan penyebutan nama surat, periode makiyyah dan madaniyyah.
7.      Terdapat penyebutan tentang jumlah ayat bahkan menyebutkan jumlah huruf dan jumlah kalimat. Hal ini menunjukan bahwa beliau itu sangat teliti.
8.      Terdapat juga penjelasan tentag asbabun nuzul, ragam qiraat, dan penjelsan tentang nahwu dan sharaf.[8]
D.    Sistematika Penulisan Tafsir Marah Labid
Alasan yang mendasari percetakan dan penulisan Marah labid ini, sumber referensi menyebutkan ada dua kemungkinan yaitu; Pertama, Syaikh Nawawi dikenal sebagai pemimpin Koloni Jawa di Mekkah yang memperoleh penghormatan paling besar. Sehingga masyarakat jawa pada waktu itu memintanya untuk memberikan ilmu pengetahuannya mengenai al-Quran. Kedua, literatur tafsir di Indonesia yang lengkap sebanyak 30 juz sampai abad 18-an hanyalah Tafsir Tarjuman al-Mustafîdh karya ‘Abd Ra’uf Singkili dan itupun ditulis dalam bahasa Melayu sehingga tidak menutup kemungkinan mereka tidak puas dengan merujuk kepada satu kitab.
Praktisnya, permintaan ini tidak langsung ditanggapi oleh Imam Nawawi. Akan tetapi, Imam Nawawi justru seakan-akan takut untuk melangkah. Berdasarkan referensi bahwa ketakutan ini merupakan refleksi dari sifat ihtiath (hati-hati) yang dimilkinya. Lebih lanjutnya Nawawi mengungkapkan bahwa ketakutan tersebut lebih karena adanya pagar ketat yang tersurat dalam hadist Rasul Muhammad SAW yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ  فى الْقُرْآنِ بِرَأِّيِهِ فَأ َصَابَ فَقَدْ أخْطَأ
“Rasul SAW bersabda: “Barang siapa menafsirkan (berkomentar) al-Quran dengan mengedepankan pemikirannya, meskipun penafsirannya benar, maka ia telah bersalah”.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَال فى الْقُرْآنِ بِرَأِّ ْيِهِ، فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Rasul SAW bersabda:”Barang siapa menafsirkan al-Quran dengan berdasarkan pada pemikirannya, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduk di dalam neraka”.
Setelah sekian lama waktu berjalan, permintaan rekan-rekannya untuk tetap menulis tafsir akhirnya terwujud akhirnya Imam Nawawi memutuskan untuk menulis tafsir. Dalam tafsir Marah labid ini Imam Nawawi menampakan konsisitensi kehati-hatiannya. Buktinya adalah dalam penulisan tafsir tersebut Nawawi tidak mengedepankan ide-idenya saja, namun ia mengikuti dan mengutip kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah (sudah diakui) yang telah ditulis ulama sebelumnya. Adapun salah satu karya yang dijadikan rujukan adalah Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhr al-Din al-Razi.
Pada jilid pertama Marah labid ini di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas. Penafsiaran yang terlihat dalam kitab Marah labid terdapat di dalam garis, sedangkan di luar garis adalah kitab al-wajiz tafsir al-qur’an al-aziz oleh Imam Ali bin Ahmad al-Wahidi yang meninggal pada tahun 468 H.
Adapun sistematika Penulisan Tafsir ini, mengikuti sistematika sesuai dengan urutan-urutan dalam mushaf. Yakni, dimulai dari awal surat, al-Fatihah terus berurutan hingga an-Nas.
E.     Metode Tafsir Marah Labid
Metodologi penafsiran adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada umumnya metode penafsiran terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali (global), tahlili (analitis), muqoron (perbandingan), maudhu’i (tematik). Metode penafsiran ijmali adalah metode penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tetapi komprehensif dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Metode penafsiran tahlili adalah metode yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat al-Qur’an dari setiap surah-surah al-Qur’an dengan seperangkat alat-alat penafsiran (diantaranya asbabul nuzul, munasabat, nasikh mansukh dan lain-lain). Metode penafsiran muqoron adalah metode penafsiran dengan membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama. Metode penafsiran maudhu’i adalah metode menafsirkan dengan menghimpun semua ayat dari berbagai surah yang berbicara tentang satu masalah tertentu yang dianggap menjadi tema sentral.[9]
Tafsir al-Munir ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali (global). Dikatakan ijmali karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syaikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan padat, sehingga pun mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Tafsir al Munir li Ma’alim at Tanzil terlihat sangat detail dalam menafsirkan setiap kata per-kata pada setiap ayat, mungkin karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa yang tidak diragukan lagi. Tafsir Marâh Labîd atau dikenal juga dengan nama Tafsir Munir merupakan tafsir al-Quran yang style-nya mirip tafsir Jalâlain; campuran antara model tafsir bi ma’tsur dan bi al-ra’y. Tafsir karya Syaikh Nawawi al-Jawi tersebut memiliki corak tafsir periode pertengahan (afirmasi) yang memberikan penjelasan secara global dan pendek-pendek dari ayat ke ayat secara numerik dan sesekali mengupas i’rab lafal ayat. hal itu dapat dimaklumi karena Syaikh Nawawi hidup dan berkembang di kawasan yang meskipun kosmopolit tetapi kental dengan semangat Islam yang ortodoks. Di samping itu, masa hidup Syaikh Nawawi adalah masa di mana tafsir tradisional model pertengahan masih dalam momentum penafsiran yang dianut mayoritas umat Islam. Berikut contoh penafsiran kata per-kata oleh Syaikh Nawawi dalam Kitab tafsirnya:
)الحمد الله( والشكر لله بنعمه السوابغ على عباده الذين هداهم للإيمان )رب العالمين ( أى خالق الخلق ورازقهم ومحولهم من حال الى حال )الرحمن ( أى العاطف على البار والفاجر بالرزق لهم ودفع الآفات عنهم
Selain menggunakan penafsiran metode ijmali dan tahlili, ternyata dalam kitab al-Munir kami juga menemukan metode muqoron (perbandingan) pada penafsiran surah al-Fatihah ayat 4 yang dibandingkan dengan surah al-Infithar ayat 19. Berikut redaksi yang tertera dalam Kitab Tafsir al-Munir:
)ملك يوم الذين( بإثبا ت الألف عند عاصم والكسائي و يعقوب أى متصرف ي الأمر كله يوم القيامة كما قال تعالى يوم لا تملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ الله وعند الباقين بخذق الألف والمعنى أى المتصرف ي أمر القيامة با لأمر والنهى[10]
Maka, dengan demikian tafsir al-Munir juga menggunakan metode penafsiran muqoron dilihat dari penafsiran surah al-Fatihah ayat 4 tersebut meskipun kami belum menganalisis seluruh penafsiran ayat secara keseluruhan.
F.     Corak Tafsir Marah Labid
Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa arab yang berarti warna. Jadi corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran. Tafsir merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir ketika ia menjelaskan ujaran-ujaran al-Quran sesuai dengan kemampuannya yang sekalipun mneggambarkan minat dan horizon pengetahuan sang mufasir. Corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir . kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut.
Keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan keanekaragaman disiplin ilmu yang berkembang pada saat itu. Di sisi lain ilmu yang berkembang pada Abad pertengahan ini yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat.[11]
Corak dari penulisan kitab tafsir Marah labid adalah kebahasaan, karena ia mengaktualisasikan penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasa yang digunakan al-Qur’an. Karakter yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat detail, karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak diragukan lagi. Para ulama menilai Marah labid ini merupakan tafsir standar yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah labid” Syaikh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Disamping itu, corak yang digunakan oleh Imam Nawawi adalah menurut referensi bahwa tafsir ini dikategorikan dalam corak riwayah/ mat’sur. Karena tafsir ini belum memenuhi persyaratan untuk dikaitkan menempuh corak bi rayi. Pernyataan ini dapat disimpulkan karena dalam permulaan pernyataan di dalam tafsirnya pada bab pembukaan, Imam Nawawi mengatakan bahwa ia takut menafsirkan al-Quran dengan tafsir pemikiran murninya (bil rayi) saja. Hal ini terbukti dalam praktisnya bahwa Imam Nawawi banyak mengutip hadis-hadis rasulullah saw, pendapat sahabat, tabiin, atau para tokoh yang dianggapnya mu’tabar dalam menjelaskan ayat tertentu. Hal ini diperkuat dengan disebutkannya nama beberapa sahabat dan tabi’in seperti Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, al-Dahak, dan Qatadah dalam menafsirkan ayat tertentu. Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadis, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan dirayah
Masih sisi lain dari tafsir Nawawi bahwa dalam karya tafsirnya disisipkan berbagai kisah menarik. Tersedia cukup banyak dan komprehensif, informasi tentang Asbabun Nuzul. Semua itu didukung oleh kepandaian dan kelihaian gaya penulisannya, yang tak seorangpun menyangkal bahwa Imam Nawawi memiliki background  kuat dalam sastra dan tata bahasa arab. Sejalan hal ini tafsirnya juga penuh dengan kekayaan explanasi linguistik dan pendahuluan yang beragam dalm membaca al-qur’an oleh tujuh imam (qiraah as-sab’ah).[12]
G.    Pengaruh Tafsir Marah Labid
Kemunculan Tafsir al-Munir menandakan adanya perkembangan penulisan tafsir di Indonesia sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang diberikan Syaikh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah labid, Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al Munir li Ma’alim al Tanzil. Tafsir al-Munir pertama kali ditulis oleh Syaikh Nawawi pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Syaikh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat al-Fâ􀆸tihah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.
Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan salah satu ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Nusantara dan bahkan sampai sekarang melalui generasi, pengikut dan tulisannya. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah penulis yang sangat produktif dan ulama yang memiliki pengetahuan multidimensi. Menurut catatan beberapa muridnya dan generasi murid selanjutnya, tidak kurang dari 115 karya yang ditulisnya dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Melalui kitab-kitabnya, ia merefleksikan pandangan dan fatwanya. Dan kitab-kitab itu menempatkan posisi teratas kitab-kitab paling berpengaruh dalam kurikulum pesantren-pesantren di Nusantara maupun majelis-majelis keilmuan Islam lainnya hingga kini.
Seorang orientalis C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan mengamalkan kealimannya. Maka pantaslah, para ulama dan cendekiawan muslim menempatkannya sebagai bapak gerakan intelektual Islam di Nusantara. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syaikh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Dan ini terbukti dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syaikh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syaikh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Figur ulama seperti Syaikh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syaikh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Syaikh Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari. akar tradisi keilmuan pesantren.


BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan
Nama Syaikh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.
Meskipun Syaikh Nawawi berasal dari Indonesia namun karyanya yang tidak sedikit, diakui dan memberi pengaruh terhadap perkembangan Islam, tidak saja di Asia Tenggara (khususnya Indonesia) melainkan juga di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya.
Corak dari penulisan kitab tafsir Marah labid adalah kebahasaan, karena ia mengaktualisasikan penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasa yang digunakan al-Qur’an. Karakter yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat detail, karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak diragukan lagi. Para ulama menilai Marah labid ini merupakan tafsir standar yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Uraiannya sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.


Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud, Dari haramain ke nusantara, Jejak keintelektualan arsitek pesantren, Jakarta, Kencana, 2006.
Ahmad Izzan , Metodologi Ilmu Tafsir,Bandung,Tafakur 2011
Albert Hourani,Pemikir Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk, Bandung, Mizan, 2004
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’ Nusantara, Jakarta, Gelegar Media Indonesia,tt
Imam Nawawi, Marah labid Tafsir Munir, Beirut, Darul Ilmi ,tt
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta, Pustaka Pesantren, LKiS Cet : I, 2009



[1] H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’ Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia,tt), h. 653.
[2] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, LKiS Cet : I, 2009), h. 9
[3] 5Pan-Islamisme merupakan ideologi yang mulai marak pada tahun 1860-1870. Sultan Utsmani Abdul Aziz dan penerusnya, Abdul Hamid II yang semula memiliki proyek ‘’imperialisme’’ terselubungnya ini. Pan-Islamisme ini dengan bertujuan untuk menyatukan seluruh umat Islam di dunia di bawah kepemimpinan kekhalifahan Turki Utsmani dari kekuatan Rusia yang kala itu mampu memaksa imperium Utsmani bernegosiasi. Mekkah kala itu termasuk daerah yang berada dalam kekuasaan imperium Utsmani. Pan-Islamisme yang diusung Jamaluddin al-Afghani juga bertujuan menyatukan umat Islam dalam suatu wadah solidaritas ummah. Namun, ia tidak mengusung semangat ini untuk kepentingan politik Turki Utsmani. Albert Hourani,Pemikir Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk, (Bandung: Mizan, 2004), h. 165-175
[4] Abdurrahman Mas’ud, Dari haramain ke nusantara, Jejak keintelektalan arsitek pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 110-112
[5] Ibid, h. 118
[6] Abdurahman Mas’ud, Dari Haramain...., h. 132.
[7] Ibid, h. 134.
[8]  Imam Nawawi, Marah Labid, (Beirut: Darul Ilmi ,tt)
[9] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abdi, 2010), h. 68-74.

[10] Imam Nawawi, Marah labid..., h. 3
[11] Ahmad Izzan, Meteodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur 2011), h. 199
[12] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain..., h.133-134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...