MANUSIA
DAN POTENSINYA
Disusun
guna
untuk memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Tafsir Ijtima’i
Dosen
Pengampu: Hj. Isti’anah, MA.
Disusun
oleh:
M.
Nurun Ni’am NIM.
1530110059
Siti
Ma’rifatun Ni’mah NIM.
1530110048
Irsyad
Nawawi NIM.
1530110043
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN / IQT 4B
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pandangan manusia terhadap dirinya
merupakan faktor dominan yang dapat mengarahkan pendidikannya. Oleh karena itu
dalam membahas masalah pendidikan tidak
lepas dari pembahasan tentang hakekat diri manusia itu sendiri. Dalam al-Qur’an manusia adalah makhluk Allah
yang dibebani tanggung jawab, oleh karena itu ia disifati dengan kesempurnaan
sebagai kesiapan memikul tanggung jawab (taklif), dan jika gagal akan
dikembalikan kepada derajat paling hina agar ia waspada terhadap perintah dan
larangan. Agar amanah tersebut terlaksana, manusia harus berusaha untuk menumbuhkan amanah dalam perilaku sebagai wahana yang paling
dominan yang terformat dalam
pendidikan.
Al-Qur’an sering memuji manusia
sekaligus mengecam terhadap mereka yang tidak mempedulikan kemulyaan yang telah
diberikan oleh Tuhan kepadanya ( Baca: Al-Isra’: 70). Ayat tersebut adalah
pujian Allah kepada manusia sekaligus hinaan kepadanya setelah diberi nikmat.
Nikmat tersebut tidak difungsikan sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk
bersyukur kepada-Nya.
Allah menundukkan semua yang ada di laingit dan di bumi untuk manusia
sebagai persiapan menjadi khalifah
(Luqmân: 20). Wajar jika kedudukan
manusia menurut al-Qur’an sangat tinggi
dan mulia, agar dapat menjalankan risalah kehidupannya, yaitu menyebarkan
kebenaran, kebaikan, kebajikan dan keindahan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang
manusia?
2. Apa saja potensi yang ada dalam diri manusia?
3.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Potensi Manusia
Potensi diri merupakan kemampuan,
kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki
seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal.
Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk
pada manusia, yang di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.
Kata basyar diambil dari
akar kata yang berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan indah’. Dari
kata itu juga, muncul kata basyarah yang artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda
dengan kulit binatang.[1]
Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa
dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.
B.
Potensi Manusia
Yang banyak dibicarakan
oleh Al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini,
ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin
[95]: 5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan
kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di
samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan
mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34), sangat banyak membantah (QS Al-Kahf
[18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih
banyak lagi lainnya.
Ini bukan berarti bahwa
ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat
tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya.
Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi (kesediaan) untuk
menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang
rendah sehingga ia tercela.[2]
Potensi manusia
dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah
[2]: 30-39). Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah
merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk
maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani),
makhluk ini dianugerahi pula:
1.
Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.
Dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun
konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan, serta
melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang
tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka
bersedia sujud kepada Adam.
2. Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan
kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya.[3]
Pengalaman di surga
adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang,
pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9),
sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan
Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat
berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa
jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti
rayuannya akan terusir.
Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis
Nabi Saw. Diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap
sebagian misteri makhluk ini. Isyarat yang menyangkut unsur immaterial,
ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian
tentang fithrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia. Berikut
dicoba untuk memahami istilah-istilah tersebut.
1.
Fithrah
Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr
yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain
"penciptaan" atau "kejadian". Fithrah
manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.
Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya
terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks
uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia
baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi
uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat
Al-Rum ayat 30:
óOÏ%r'sù
y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9
$ZÿÏZym
4 |NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$#
tsÜsù
}¨$¨Z9$#
$pkön=tæ
4 w
@Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9
«!$#
4 Ï9ºs
ÚúïÏe$!$#
ÞOÍhs)ø9$#
ÆÅ3»s9ur
usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w
tbqßJn=ôèt
ÇÌÉÈ
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi
beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.[4]
Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dan khalq
(penciptaan) Allah.
Kalau kita memahami kata “La” pada ayat tersebut
dalam arti "tidak", maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar
dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan
melekat pada diri manusia untuk selama lamanya, walaupun boleh jadi tidak
diakui atau diabaikannya.
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah
keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk
pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan
tentang penciptaan potensi manusia --walaupun tidak menggunakan kata fitrah,
seperti misalnya:
z`Îiã
Ĩ$¨Z=Ï9
=ãm
ÏNºuqyg¤±9$#
ÆÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
tûüÏZt6ø9$#ur
ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur
ÍotsÜZs)ßJø9$#
ÆÏB
É=yd©%!$#
ÏpÒÏÿø9$#ur
È@øyø9$#ur
ÏptB§q|¡ßJø9$#
ÉO»yè÷RF{$#ur
Ï^öysø9$#ur
3 Ï9ºs
፯tFtB
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
( ª!$#ur
¼çnyYÏã
ÚÆó¡ãm
É>$t«yJø9$#
Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan
(atau lelaki), anak lelaki (dari perempuan), serta harta yang banyak berupa
emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (QS Ali 'Imran [3]: 14).
Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur
dalam tafsirnya tentang surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan bahwa: Fitrah
adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang
berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang
berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya). Manusia berjalan dengan
kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan melalui
premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa
musibah juga adalah fitrahnya.
2.
Nafs
Kata nafs dalam Al-Quran mempunyai aneka makna, sekali diartikan
sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat Al-Maidah ayat 32,
di kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang
menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.
3 cÎ)
©!$#
w
çÉitóã
$tB
BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu masyarakat,
sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka (QS Al-Ra'd [13]: 11)
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam
konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang
berpotensi baik dan buruk. Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah
dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Quran
dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
<§øÿtRur
$tBur
$yg1§qy
ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù
$yduqègéú
$yg1uqø)s?ur
ÇÑÈ
Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya
kefasikan dan ketakwaan (QS Al-Syams [91]:
7-8).
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia
melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk
melakukan kebaikan dan keburukan.[5]
Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata
ini menurut Al-Quran dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian kaum
sufi ini sama dengan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain,
menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk
berbuat kurang baik".
Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi
positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi
positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan
lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,
ôs%
yxn=øùr&
`tB
$yg8©.y
ÇÒÈ ôs%ur
z>%s{
`tB
$yg9¢y
ÇÊÉÈ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan
merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS Al-Syams [91]:
9-10)
Bahwa kecenderungannya kepada kebaikan lebih kuat,
dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya:
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$#
$²¡øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
4 $ygs9
$tB
ôMt6|¡x.
$pkön=tãur
$tB
ôMt6|¡tFø.$#
3
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan apa yang diusahakannya, dan
memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya
(QS Al-Baqarah [2]: 286)
Kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk
kepada usaha baik sehingga memperoleh ganjaran, adalah patron yang digunakan
bahasa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah,
sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada
hal-hal yang sulit lagi berat.[6]
Ini --menurut pakar Al-Quran Muhammad Abduh—mengisyaratkan bahwa nafs pada
hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik daripada melakukan
kejahatan, dan pada gilirannya mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas, adalah firman-Nya
$pkr'¯»t
ß`»|¡RM}$#
$tB
x8¡xî
y7În/tÎ/
ÉOÌx6ø9$#
ÇÏÈ Ï%©!$#
y7s)n=yz
y71§q|¡sù
y7s9yyèsù
ÇÐÈ
Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa) terhadap
Tuhanmu yang telah menciptakan engkau, menyempurnakan kejadianmu, dan
menjadikan engkau "adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS Al-Infithar [82): 6-7).
Kata "menjadikan engkau adil" dipahami oleh
sementara pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini
cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman
Allah terhadap manusia yang mendurhakainya. Al-Quran juga mengisyaratkan
keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan
tentang an-nafs al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah. Di sisi lain
ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Firman Allah dalam surat
Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan bahwa nafs menampung
paling tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya,
sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang ada dalam wadah nafs-nya. Yang ada
di sini antara lain adalah gagasan dan kemauan atau tekad untuk berubah.
Gagasan yang benar, yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat, dapat
mengubah keadaan masyarakat itu. Tetapi gagasan saja tanpa kemauan, atau
kemauan saja tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan. Yang terdapat
dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi
juga menampung sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang
sudah hilang dari ingatan pemiliknya. Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut,
bÎ)ur
öygøgrB
ÉAöqs)ø9$$Î/
¼çm¯RÎ*sù
ãNn=÷èt
§Åc£9$#
s"÷zr&ur
ÇÐÈ
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya Dia
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi
(QS Thaha [20]: 7).
Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat
dalam "bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah
"yang disadari manusia namun dirahasiakannya."[7]
Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: Tidak
seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali tampak pada salah ucapnya atau air
mukanya.
Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi,
yang oleh Al-Quran pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertama
dinamainya ru'ya dan kedua dinamainya adhghatsu ahlam. Yang
pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang telah,
sedang, atau akan dialami, dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang
memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan atau perhatian manusia terhadap
sesuatu dan hal-hal yang telah berada di bawah sadarnya. Dalam wadah nafs
terdapat qalb.
3.
Qalb
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna
membalik karena seringkali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah,
sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat berpotensi untuk tidak konsisten.
Al-Quran pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya.
Berikut beberapa contoh.
a.
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi
menjadi saksi (QS Qaf [50]: 37)
b.
Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang mengikuti (Isa a.s )
kasih sayang dan rahmat (QS Al-Hadid [57]: 27).
c.
Kami akan mencampakkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut
(QS Ali 'Imran [3]: 151).
d.
Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan
menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat [49]: 7).
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah
wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang
dijelaskan oleh ayat-ayat di atas (demikian juga ayat-ayat lainnya), dapat
ditarik kesimpulan bahwa kalbu memang menampung hal-hal yang disadari oleh
pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah seperti
yang dinyatakan sebelumnya bahwa nafs menampung apa yang berada di bawah sadar,
dan atau sesuatu yang tidak diingat lagi?
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungiawabkan
hanya isi kalbu bukan isi nafs, Allah menuntut tanggungjawab kau menyangkut apa
yang dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225). Namun dinyatakan
bahwa, Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs
(diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25)
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs
adalah "sisi dalam" manusia, kalbu pun demikian, hanya saja kalbu berada
dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam kotak besar nafs. Dalam
keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil
isinya, seperti yang digambarkan ayat-ayat berikut ini:
$oYôãttRur
$tB
Îû
NÏdÍrßß¹
ô`ÏiB
@e@Ïî
$ºRºuq÷zÎ)
4n?tã
9ãß
tû,Î#Î7»s)tGB
ÇÍÐÈ
Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga
mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]: 47)
Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu (QS Al-Hujurat [49]: 14).[8]
Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu yang
disegel:
Allah telah mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah
[2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup
kalbu (QS Muhammad [47]:24). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau
dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah jiwa. Al-Quran
mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung
takwa" (QS Al-Hujurat [49]: 3). Bukankah kami telah memperluas dadamu? (QS
Alam Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia
menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi sesak (QS Al-An'am [6]: 125).
Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu
sebagai mana ditegaskan Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang berada
di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).
Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan wadah
itu, dipahami dalam arti "alat" seperti dalam firman-Nya: Mereka mempunyai
kalbu, tetapi tidak digunakan untuk memahami (QS Al-A'raf [7]: 179). Kalbu
sebagai alat, dilukiskan pula dengan fu'ad (seperti dalam firman-Nya: Allah
mengeluarkan kamu dan perut ibumu da1am keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka
Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan, serta
(banyak) hati agar kamu bersyukur (menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan)
(QS Al-Nahl [16]: 78).[9]
Membersihkan kalbu, adalah salah satu cara untuk
memperoleh pengetahuan. Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu sebagai
wadah pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau kita membayangkan satu
kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan
mengalirkan air sungai --dari atas-- ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga
dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika itu
dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan
air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas. Kolam
adalah kalbu, air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen.
Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang berada di
kolam (kalbu) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas
(kolam).[10]
Al-Quran juga menegaskan bahwa Allah Swt. dapat
mendinding manusia dengan kalbunya. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
mendinding antara manusia dan hatinya (0S Al-Anfal [8]: 24).
Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah menguasai
kalbu manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat
bermohon kepada-Nya untuk menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang
dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13):
28:
3 wr&
Ìò2ÉÎ/
«!$#
ûÈõyJôÜs?
Ü>qè=à)ø9$#
ÇËÑÈ
Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan tenteram.
4.
Ruh
Berbicara tentang ruh, Al-Quran mengingatkan kita akan firman-Nya:
tRqè=t«ó¡our
Ç`tã
Çyr9$#
( È@è%
ßyr9$#
ô`ÏB
ÌøBr&
În1u
!$tBur
OçFÏ?ré&
z`ÏiB
ÉOù=Ïèø9$#
wÎ)
WxÎ=s%
ÇÑÎÈ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, "Ruh
adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (QS
Al-Isra' [17]: 85)
Menurut Ibnu Abbas ayat ini diturunkan berkenaan dengan
kaum kafir Quraisy yang suatu ketika mengajikan pertanyaan kepada rasulullah,
“Wahai Muhammad coba ceritakan kepada kami tentang roh”.[11]
Kata ruh terulang di dalam Al-Quran sebanyak dua puluh
empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna, dan tidak semua berkaitan
dengan manusia. Dalam surat Al-Qadar misalnya dibicarakan tentang turunnya
malaikat dan ruh pada malam Lailat Al-Qadr. Ada juga uraian tentang ruh yang
membawa Al-Quran.
Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam
konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia
pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai
wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang dianugerahkannya kepada
orang-orang Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan
dan peneguhan hati atau kekuatan batin; dan ada juga yang dianugerahkannya
kepada seluruh manusia, Kemudian Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku. Apakah di
sini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat demikian, ada juga yang menolak
pendapat ini, karena dalam Surat Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan
ditiupkannya ruh maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang
unik), yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang
utan, misalnya. Kalau demikian nyawa bukan unsur yang menjadikan manusia
makhluk yang unik.[12]
Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam
makna yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya
apalagi berbicara tentang substansinya. Dalam beberapa hadis, ada disinggung
tentang ruh, misalnya sabda Nabi Saw.,
Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling
mengenal akan bergabung, dan yang tidak saling mengenal akan berselisih.
Hadis di atas seringkali dirangkaikan dengan ungkapan
yang dikenal luas dalam literatur keagamaan: Burung-burung akan bergabung
dengan jenisnya.
Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang
disebut ruh tersebut? Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan
bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, dan setiap pemilik
kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.
Demikian kembali kita bertanya, "Apa ruh itu dan
bagaimana ia?" Penulis lebih tenang dan mantap menjawab, Katakanlah,
"Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali
sedikit.
5.
'Aql
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang
ada adalah bentuk kata kerja --masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi
bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya
bagi "sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam
kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara
eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata 'aql dapat
dipahami bahwa ia antara lain adalah:[13]
a.
Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya
dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.
ù=Ï?ur
ã@»sVøBF{$#
$ygç/ÎôØnS
Ĩ$¨Z=Ï9
( $tBur
!$ygè=É)÷èt
wÎ)
tbqßJÎ=»yèø9$#
ÇÍÌÈ
Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada
manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim
(berpengetahuan) (QS Al-'Ankabut [29]: 43)
Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini
diisyaratkan Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang
dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah Swt. bagi "orang-orang
berakal" (QS Al-Baqarah [2]: 164), dan ada juga bagi Ulil Albab yang juga
dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekadar memiliki
pengetahuan.
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya
terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur,
tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada
pengertian dan kemampuan pemahaman.
b.
Dorongan moral, seperti firman-Nya,
wur
(#qç/tø)s?
|·Ïmºuqxÿø9$#
$tB
tygsß
$yg÷YÏB
$tBur
ÆsÜt/
( wur
(#qè=çGø)s?
[øÿ¨Z9$#
ÓÉL©9$#
tP§ym
ª!$#
wÎ)
Èd,ysø9$$Î/
4 ö/ä3Ï9ºs
Nä38¢¹ur
¾ÏmÎ/
÷/ä3ª=yès9
tbqè=É)÷ès?
ÇÊÎÊÈ
... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik
yang nampak atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga
kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya (QS Al-'Anam [6]: 151).
c.
Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta
"hikmah".
Untuk maksud ini
biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di
atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan,
serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki
dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh jadi
juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat, tidak memiliki dorongan moral,
tetapi seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua
keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di
hari kemudian berkata, Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak
termasuk penghuni neraka (QS Al-Mulk [67]: l0).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum
terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum
sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal. Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa
dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.
Adapun yang mewujudkan potensi manusia antara lain ialah:
1. Fitrah
2. Nafs
3. Qolb
4. Ruh
5. Aqal
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz 2, Maktabah
Syamilah
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 8, Maktabah Syamilah
Ahsan Sakho’ Muhammad, Al-Quranul Karim Al-Hidayah, Jakarta:
Kalim, 2010
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Umat), Bandung: Mizan, Cet 13, 1996.
[1] M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat), Bandung: Mizan, Cet 13, 1996. Hlm. 275
[2] Ibid,
hlm. 279
[3] Ibid,
hlm. 280
[5] Ibid,
hlm. 283
[6] Ibid,
hlm. 284
[7] Ibid,
hlm. 286
[8] Ibid,
hlm. 288
[9] Ibid,
hlm. 289
[10] Abu
Hamid Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz 2, Maktabah Syamilah, hlm. 246
[11]
Ahsan Sakho’ Muhammad, Al-Quranul Karim Al-Hidayah, Jakarta: Kalim,
2010, hlm. 291
[12] Ibid,
hlm. 291
[13] Ibid,
hlm. 292
Tidak ada komentar:
Posting Komentar