Rabu, 07 Juni 2017

MANUSIA DAN POTENSINYA




MANUSIA DAN POTENSINYA
Disusun
guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tafsir Ijtima’i
Dosen Pengampu: Hj. Isti’anah, MA.













Disusun oleh:
M. Nurun Ni’am                     NIM. 1530110059
Siti Ma’rifatun Ni’mah           NIM. 1530110048
Irsyad Nawawi                        NIM. 1530110043
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / IQT 4B
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pandangan manusia terhadap dirinya merupakan faktor dominan yang dapat mengarahkan pendidikannya. Oleh karena itu dalam membahas masalah pendidikan  tidak lepas dari pembahasan tentang hakekat diri manusia itu sendiri.  Dalam al-Qur’an manusia adalah makhluk Allah yang dibebani tanggung jawab, oleh karena itu ia disifati dengan kesempurnaan sebagai kesiapan memikul tanggung jawab (taklif), dan jika gagal akan dikembalikan kepada derajat paling hina agar ia waspada terhadap perintah dan larangan. Agar amanah tersebut terlaksana, manusia harus  berusaha untuk menumbuhkan amanah dalam   perilaku sebagai wahana yang paling dominan   yang terformat dalam pendidikan.
Al-Qur’an sering memuji manusia sekaligus mengecam terhadap mereka yang tidak mempedulikan kemulyaan yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya ( Baca: Al-Isra’: 70). Ayat tersebut adalah pujian Allah kepada manusia sekaligus hinaan kepadanya setelah diberi nikmat. Nikmat tersebut tidak difungsikan sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk bersyukur kepada-Nya.
 Allah menundukkan semua  yang ada di laingit dan di bumi untuk manusia sebagai persiapan  menjadi khalifah (Luqmân: 20). Wajar  jika kedudukan manusia menurut  al-Qur’an sangat tinggi dan mulia, agar dapat menjalankan risalah kehidupannya, yaitu menyebarkan kebenaran, kebaikan,  kebajikan dan  keindahan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasan tentang  manusia?
2.      Apa saja potensi yang ada dalam diri manusia?

3.       
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Potensi Manusia
Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal.
Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi.  Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk pada manusia,  yang  di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.
Kata basyar  diambil dari  akar  kata yang  berarti ‘penampakan sesuatu  dengan baik dan  indah’. Dari  kata  itu juga, muncul kata basyarah yang  artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas  dan berbeda  dengan kulit binatang.[1] Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.
B.     Potensi Manusia
Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]: 5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34), sangat banyak membantah (QS Al-Kahf [18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih banyak lagi lainnya.
Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.[2]
Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39). Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini dianugerahi pula:
1.      Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.
2.      Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya.[3]
Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9), sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.
Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. Diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian misteri makhluk ini. Isyarat yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fithrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia. Berikut dicoba untuk memahami istilah-istilah tersebut.
1.      Fithrah
Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian". Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.
Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat Al-Rum ayat 30:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.[4] Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah.
Kalau kita memahami kata “La” pada ayat tersebut dalam arti "tidak", maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia --walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti misalnya:
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#  
Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (QS Ali 'Imran [3]: 14).
Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan bahwa: Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya). Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
2.      Nafs
Kata nafs dalam Al-Quran mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat Al-Maidah ayat 32, di kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.
3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka (QS Al-Ra'd [13]: 11)
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Quran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ  
Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan (QS Al-Syams [91]: 7-8).
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.[5]
Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Al-Quran dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik".
Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10)
Bahwa kecenderungannya kepada kebaikan lebih kuat, dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya:
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga memperoleh ganjaran, adalah patron yang digunakan bahasa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat.[6] Ini --menurut pakar Al-Quran Muhammad Abduh—mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik daripada melakukan kejahatan, dan pada gilirannya mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas, adalah firman-Nya
$pkšr'¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$# ÇÏÈ   Ï%©!$# y7s)n=yz y71§q|¡sù y7s9yyèsù ÇÐÈ  
Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa) terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau, menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau "adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS Al-Infithar [82): 6-7).
Kata "menjadikan engkau adil" dipahami oleh sementara pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang mendurhakainya. Al-Quran juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang an-nafs al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah. Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Firman Allah dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan bahwa nafs menampung paling tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang ada dalam wadah nafs-nya. Yang ada di sini antara lain adalah gagasan dan kemauan atau tekad untuk berubah. Gagasan yang benar, yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat, dapat mengubah keadaan masyarakat itu. Tetapi gagasan saja tanpa kemauan, atau kemauan saja tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan. Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari ingatan pemiliknya. Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut,
bÎ)ur öygøgrB ÉAöqs)ø9$$Î/ ¼çm¯RÎ*sù ãNn=÷ètƒ §ŽÅc£9$# s"÷zr&ur ÇÐÈ  
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS Thaha [20]: 7).
Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat dalam "bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang disadari manusia namun dirahasiakannya."[7]
Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali tampak pada salah ucapnya atau air mukanya.
Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh Al-Quran pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertama dinamainya ru'ya dan kedua dinamainya adhghatsu ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau akan dialami, dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan atau perhatian manusia terhadap sesuatu dan hal-hal yang telah berada di bawah sadarnya. Dalam wadah nafs terdapat qalb.
3.      Qalb
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena seringkali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Quran pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa contoh.
a.       Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS Qaf [50]: 37)
b.      Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang mengikuti (Isa a.s ) kasih sayang dan rahmat (QS Al-Hadid [57]: 27).
c.       Kami akan mencampakkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut (QS Ali 'Imran [3]: 151).
d.      Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat [49]: 7).
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas (demikian juga ayat-ayat lainnya), dapat ditarik kesimpulan bahwa kalbu memang menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa nafs menampung apa yang berada di bawah sadar, dan atau sesuatu yang tidak diingat lagi?
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs, Allah menuntut tanggungjawab kau menyangkut apa yang dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225). Namun dinyatakan bahwa, Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25)
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah "sisi dalam" manusia, kalbu pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam kotak besar nafs. Dalam keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya, seperti yang digambarkan ayat-ayat berikut ini:
$oYôãttRur $tB Îû NÏdÍrßß¹ ô`ÏiB @e@Ïî $ºRºuq÷zÎ) 4n?tã 9ãß tû,Î#Î7»s)tGB ÇÍÐÈ  
Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]: 47)
Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu (QS Al-Hujurat [49]: 14).[8]
Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel:
Allah telah mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]:24). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah jiwa. Al-Quran mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung takwa" (QS Al-Hujurat [49]: 3). Bukankah kami telah memperluas dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi sesak (QS Al-An'am [6]: 125).
Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagai mana ditegaskan Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang berada di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).
Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan wadah itu, dipahami dalam arti "alat" seperti dalam firman-Nya: Mereka mempunyai kalbu, tetapi tidak digunakan untuk memahami (QS Al-A'raf [7]: 179). Kalbu sebagai alat, dilukiskan pula dengan fu'ad (seperti dalam firman-Nya: Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu da1am keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan, serta (banyak) hati agar kamu bersyukur (menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).[9]
Membersihkan kalbu, adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan. Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu sebagai wadah pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai --dari atas-- ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas. Kolam adalah kalbu, air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang berada di kolam (kalbu) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).[10]
Al-Quran juga menegaskan bahwa Allah Swt. dapat mendinding manusia dengan kalbunya. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya (0S Al-Anfal [8]: 24).
Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah menguasai kalbu manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada-Nya untuk menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28:
3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ  
Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan tenteram.
4.      Ruh
Berbicara tentang ruh, Al-Quran mengingatkan kita akan firman-Nya:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85)
Menurut Ibnu Abbas ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum kafir Quraisy yang suatu ketika mengajikan pertanyaan kepada rasulullah, “Wahai Muhammad coba ceritakan kepada kami tentang roh”.[11]
Kata ruh terulang di dalam Al-Quran sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna, dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat Al-Qadar misalnya dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada malam Lailat Al-Qadr. Ada juga uraian tentang ruh yang membawa Al-Quran.
Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin; dan ada juga yang dianugerahkannya kepada seluruh manusia, Kemudian Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku. Apakah di sini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat demikian, ada juga yang menolak pendapat ini, karena dalam Surat Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang utan, misalnya. Kalau demikian nyawa bukan unsur yang menjadikan manusia makhluk yang unik.[12]
Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam makna yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya. Dalam beberapa hadis, ada disinggung tentang ruh, misalnya sabda Nabi Saw.,
Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling mengenal akan bergabung, dan yang tidak saling mengenal akan berselisih.
Hadis di atas seringkali dirangkaikan dengan ungkapan yang dikenal luas dalam literatur keagamaan: Burung-burung akan bergabung dengan jenisnya.
Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang disebut ruh tersebut? Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, dan setiap pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.
Demikian kembali kita bertanya, "Apa ruh itu dan bagaimana ia?" Penulis lebih tenang dan mantap menjawab, Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit.
5.      'Aql
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada adalah bentuk kata kerja --masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi "sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:[13]
a.       Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.
šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎŽôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷ètƒ žwÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ  
Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan) (QS Al-'Ankabut [29]: 43)
Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah Swt. bagi "orang-orang berakal" (QS Al-Baqarah [2]: 164), dan ada juga bagi Ulil Albab yang juga dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekadar memiliki pengetahuan.
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
b.      Dorongan moral, seperti firman-Nya,
Ÿwur (#qç/tø)s? |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $yg÷YÏB $tBur šÆsÜt/ ( Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ  
... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya (QS Al-'Anam [6]: 151).
c.       Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta "hikmah".
Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat, tidak memiliki dorongan moral, tetapi seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata, Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka (QS Al-Mulk [67]: l0).
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal. Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.
Adapun yang mewujudkan potensi manusia antara lain ialah:
1.      Fitrah
2.      Nafs
3.      Qolb
4.      Ruh
5.      Aqal


DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz 2, Maktabah Syamilah
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 8, Maktabah Syamilah
Ahsan Sakho’ Muhammad, Al-Quranul Karim Al-Hidayah, Jakarta: Kalim, 2010
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, Cet 13, 1996.




[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, Cet 13, 1996. Hlm. 275
[2] Ibid, hlm. 279
[3] Ibid, hlm. 280
[4] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 8, Maktabah Syamilah, hlm. 45
[5] Ibid,  hlm. 283
[6] Ibid, hlm. 284
[7] Ibid, hlm. 286
[8] Ibid, hlm. 288
[9] Ibid, hlm. 289
[10] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz 2, Maktabah Syamilah, hlm. 246
[11] Ahsan Sakho’ Muhammad, Al-Quranul Karim Al-Hidayah, Jakarta: Kalim, 2010, hlm. 291
[12] Ibid, hlm. 291
[13] Ibid, hlm. 292

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...