Rabu, 07 Juni 2017

PANDANGAN HAMKA TENTANG PEMIMPIN DALAM TAFSIR AL-AZHAR



PANDANGAN HAMKA TENTANG PEMIMPIN  DALAM TAFSIR AL-AZHAR
Disusun
guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pemikiran Tafsir Indonesia
Dosen Pengampu: Shofaussamawati, M.Ag., M.S.I













Disusun oleh:
M. Nurun Ni’am                     NIM. 1530110059







 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / IQT 4B
2017


A.    Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan manusia, baik itu ayat-ayat yang tersurat maupun yang tersirat. Al-Qur’an juga sebagai Kitab Suci umat Islam, banyak memberikan petunjuk tentang masalah pemimpin, berupa ketentuan-ketentuan, nilai etis yang sangat diperlukan dalam kepemimpinan tersebut.[1]
Masalah Pemimpin merupakan persoalan keseharian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemajuan dan kemunduran masyarakat, organisasi, usaha, bangsa dan Negara antara lain dipengaruhi oleh pemimpinnya. Oleh karena itu sejumlah teori tentang pemimpin bermunculan dan berkembang. Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, telah meletakkan persoalan pemimpin sebagai salah satu persoalan pokok dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa kemaslahatan, menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
Sejarah Islam telah membuktikan pentingnya masalah pemimpin ini setelah wafatnya Rasul. Para sahabat telah memberi penekanan dan keutamaan dalam mencari pengganti beliau dalam memimpin umat Islam. Pentingnya persoalan pemimpin ini perlu dipahami dan dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini, meskipun Indonesia bukanlah Negara Islam.
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terahir merupakan suri teladan umat manusia sedunia dan termasuk untuk persoalan kepemim-pinan. Beliau sebagai kepala pemerintahan yang berhasil meletakkan sendi kenegaraan yang diridhai Allah SWT. Beliau mempersatukan kabilah-kabilah Arab, menerima dan mengirim duta, serta membuat perjanjian.[2]
Jadi tugas dari pemimpin adalah mengelola perbedaan dan keragaman rakyatnya sebagai aset dan kekuatan negara.Tugas pemimpin bukanlah memaksakan persamaan. Namun untuk menghargai perbedaan dan keragaman, perbedaan suku, ras, dan apapun dikalangan rakyat semuanya menjadi ladang kompetisi untuk menjadi mulia dan bertaqwa di sisi Allah SWT, dan yang paling berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk itu adalah pemimpin.[3]
Al-Qur’an sebagai kumpulan peraturan dasar bagi manusia untuk hidup didunia maupun diakhirat, sudah tentu ada juga ayat-ayat yang membahas tentang pemimpin. Menurut HAMKA ada berbagai kata yang digunakan mengenai pembahasan tentang pemimpin, diantaranya ialah: Kholifah, Al-Imam, Wali dan Ulil Amri. Untuk mengetahui lebih jauh penjelasan dari ayat-ayat tersebut, penulis akan memaparkan penafsiran HAMKA mengenai ayat-ayat tersebut dalam tafsirnya “Tafsir Al-Azhar”.
Berdasarkan latar belakang di atas, agar penelitian lebih spesifik dan terarah maka di bawah ini disusun beberapa pokok rumusan masalah di antaranya:
1.      Bagaimana biografi HAMKA?
2.      Bagaimana pandangan HAMKA tentang pemimpin dalam tafsir Al-Azhar?
B.     Pembahasan
1.      Biografi HAMKA
Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah Sirah, termasuk daerah Negeri Sungai batang yang konon sangat indah pemandangan alamnya, pada hari Ahad petang malam senin, tanggal 13 masuk 14 Muharram 1326 H., atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang bayi laki-laki dalam keluarga ulama DR. Haji Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Haji Rasul, yang merupakan tokoh pembaharuan Islam di ranah Minang. Ia pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakariya (W. 1934).[4] Bayi laki-laki itu diberi nama “Abdul Malik”; nama itu di ambil DR. Haji Abdul Karim Amrullah untuk mengenang anak gurunya, Syekh Ahmad Khathib di Mekkah, yang bernama Abdul Malik pula. Abdul Malik bin Syekh Ahmad Khathib ini pada zaman pemerintahan Syarif Husain di Mekkah, pernah menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir, barangkali dimaksudkan sebagai do’a nama kepada penyandangnya.[5]
Di waktu masih kecil Hamka selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari beliau.[6] Nama HAMKA melekat setelah ia pergi untuk pertama kalinya naik haji ke Mekah pada tahn 1927.[7] HAMKA (akronim pertama bagi orang indonesia, red)., yaitu potongan dari nama lengkap, Haji Abdul Malik Karim Amrullah.[8]
Hamka kecil terkenal sebagai anak yang nakal, hampir seluruh penduduk kampung sekeliling padang panjang tidak ada yang tidak kenal akan “kenakalan” Hamka kecil ini.[9] Menurut Hamka sendiri, kenakalannya itu semakin menjadi-jadi setelah dia menghadapi dua hal yang sama sekali belum dapat dipahaminya. Pertama, dia tidak mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang dilakukannya sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru apa yang dilakukan itu telah sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri. Hal kedua, yakni hal yang antara lain menybabkan kenakalan Hamka kecil menjadi-jadi, adalah peristiwa perceraian antara ayahnya, DR.Haji Abdul Karim Amrullah, dengan ibunya tercinta shafiyah. Kejadian ini sangat memukul batin Hamka kecil.
Pada saat berusia sekitar 10 tahun Hamka meninggalkan kampungnya, untuk belajar di perguruan Islam modern Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Disana ia mempelajari ilmu agama Islam dan mendalami bahasa Arab. Kemampuannya dalam berbahasa Arab menjadi modal  baginya untuk mendalami ilmu Islam dan sastra, dengan membaca secara luas literatur-literatur Arab. Hamka dikenal sebagai petualang sehingga ayahnya menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada tahun 1926, saat berusia 16 tahun Hamka merantau ke tanah jawa. Ia memang tidak betah tinggal bersama orang tuanya yang bercerai, yang membuat Hamka memiliki ayah tiri dan ibu tiri.
Di Jawa Hamka belajar dan berdekatan dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam, seperti HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin (ayah KH AR Fakhruddin). Ia juga menemui kakak iparnya, AR Sutan Mansur yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Hamka berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan mulai berkiprah dalam organisasi tersebut. Hamka kembali ke rumah ayahnya di Padangpanjang pada Juli 1925.
Pada Februari 1927 Hamka yang saat itu tidak rukun dengan ayahnya berangkat ke Mekah secara diam-diam untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim disana. Sepulang dari Mekah, pada 5 April 1929 Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya). Perakwinannnya dengan Siti Raham berjalan harmonis dan bahagia. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan,’Aliyah, Fatchiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib.[10] Satu tahun delapan bulan setelah istri pertama meninggal, pada tanggal 19 Agustus 1973, ia menikah lagi dengan Hajah Siti Khadijah dari Cirebon Jawa Barat.[11] Dengan pernikahannya dengan Hj. Siti Khadijah, ia tidak memperoleh keturunan karena faktor usia.[12]
Semenjak menikah dengan Siti Raham, Hamka bersama ayahnya mengembangkan Muhammadiyah di Sumatra. Hamka memangku berbagai jabatan hingga menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang. Pada 1931 Hamka diutus oleh PP Muhammadiyah untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah di Ujungpandang. Pada 1934 Hamka kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah.
Pada tahun 1936 Hamka hijrah ke Medan dan meneruskan kiprahnya di Muhammadiyah Sumatra Timur. Di kota itu Hamka memimpin majalah Pedoman Masyarakat. Hamka pun kembali menekuni ilmu sastra. Dua karyanya dalam bidang sastra, yaitu roman percintaan berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sangat laris terjual pada saat itu. Namanya kemudian melambung dan mendapat predikat sebagai Ulama Roman.
Pada 1949 Hamka pindah ke Jakarta. Di Jakarta Hamka bekerja di Kementrian Agama. Hamka pun menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 1955 Hamka menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu tahun 1955. Ia dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi, Jawa Tengah. Konsituante ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1959.
Hamka kemudian menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Majalah ini sempat membuat Soekarno marah dan Panji Masyarakat akhirnya dibreidel pada 17 Agustus 1960 karena memuat tulisan mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Tulisan itu berisi kritik tajam terhadap Soekarno atas konsepsi Demokarsi Terpimpin. Majalah ini terbit kembali pada 1967.
Hamka menjadi musuh bagi pendukung Demokrasi Terpimpin. Banyak tuduhan dialamatkan kepada Hamka dan tokoh Masyumi lainnya, seperti kontra revolusioner hingga tuduhan merencanakan gerakan subversif. Karya Hamka banyak digugat sampai muncul tuduhan bahwa karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan plagiat.
Pada Januari 1964 Hamka ditangkap dan dikirim ke rumah tahanan di Sukabumi. Selama lima belas hari Hamka mengalami  berbagai siksaan saat di introgasi siang dan malam. Setelah tiga bulan di Sukabumi, Hamka dipindahkan ke rumah tahanan di Cimacan, Puncak. Karena sakit, Hamka kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit sampai dibebaskan pada 1966. Selama di dalam tahanan inilah Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, tafsir al-Quran yang merupakan kajian Hamka dalam kuliah subuh yang disampaikan di masjid Al-Azhar.
Pada masa awal Orde Baru Hamka cukup dekat dengan pemerintah. Hamka sering diminta ceramah di istana negara selain diberikan ruang untuk ceramah di RRI dan TVRI. Pada tahun 1975 pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Hamka terpilih menjadi ketua. Tetapi Hamka menolak gaji dari jabatannya sebagai ketua MUI.
Pada April 1981 Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa larangan mengikuti acara perayaan natal bersama bagi orang Islam. Fatwa tersebut muncul karena pemerintah saat itu gencar berkampanye tentang kerukunan hidup beragama dan menganjurkan masyarakat untuk saling menghadiri acara keagamaan, hingga populerlah acara natal bersama. Tetapi fatwa itu mendapat kritikan dari Menteri Agama saat itu. Hamka yang menolak untuk mencabut fatwa itu memilih untuk meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI pada 21 Mei 1981. Pada 24 Juli 1981 Hamka meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Hamka dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta dengan diantar ribuan masyarakat, termasuk Menteri Agama.
2.      Pandangan HAMKA tentang pemimpin dalam tafsir Al-Azhar
a.       Definisi pemimpin
Menurut Kamus Dewan, pemimpin ialah orang yang memimpin.[13] Manakala menurut HAMKA, pemimpin ialah; “memimpin supaya tegak. Membimbing supaya dapat berjalan, memapah supaya jangan jatuh! Atau menarik naik kalau sudah tergelincir jatuh. Tegak ke muka kalau bahaya datang mengancam”.[14] Hak kepimpinan hendaklah diberikan kepada lelaki, kerana ia adalah perintah dari Allah SWT serta sesuai dengan keadaan jasmani dan rohani manusia.[15] Perkataan khalifah juga digunakan oleh HAMKA bagi menjelaskan maksud pemimpin, khalifah bermaksud pengganti Rasulullah SAW dalam urusan pemerintahan atau menjadi pengganti untuk melaksanakan hukuman Allah dalam pemerintahan.[16]
HAMKA juga sering menggunakan perkataan imam untuk tujuan yang sama, imam bermaksud pemimpin yang diikuti oleh seseorang, oleh yang demikian seseorang yang tidak mempunyai pemimpin (imam) untuk diikuti di dunia, maka ia akan buta hati dari agama, sehingga kehidupannya di akhirat menjadi gelap. Jika seseorang tidak beriman kepada kebenaran, nescaya ia akan memilih imam ke arah kesesatan secara terus menerus.[17]
Perkataan wali juga digunakan oleh HAMKA dalam menjelaskan masksud pemimpin, penguasa, pengatur, pengurus, pemuka, penolong dan pelindung yang beriman kepada Allah.[18] Hal-hal berkaitan pemimpin adalah merupakan perkara penting, oleh yang demikian, Allah SWT sentiasa memberi peringatan kepada orang yang beriman secara berulang kali tentangnya.[19]
Menurut Mohd Zaid Kadri, melalui Tafsir Al-Azhar, HAMKA telah membincangkan hal-hal berkaitan pemimpin secara khusus dalam jilid satu hingga jilid lima serta jilid 8, kebanyakkannya berkisar di bawah tajuk memilih pemimpin, sifat-sifat pemimpin, memberi teguran yang membina kepada pemimpin, orang kafir tidak layak untuk dipilih sebagai pemimpin, istiqamah dalam kepimpinan dan bertambah tinggi kedudukan pemimpin semakin jelas kelemahannya.[20]
b.      Faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi pemimpin
Menurut HAMKA, terdapat beberapa faktor yang mendorong seseorang itu untuk menjadi pemimpin, diantaranya keturunan, kekuatan, kepandaian serta pemimpin lain mengakuinya sebagai pemimpin. Ilmu pengetahuan juga dapat menaikkan seseorang menjadi pemimpin, tetapi pemimpin yang sejati kerapkali tidaklah terdiri dari orang yang sangat pintar dan mempunyai kelulusan tinggi, malahan kerapkali pemimpin-pemimpin besar dunia mempergunakan orang-orang yang berilmu sebagai pembantu untuk mencapai matlamatnya, pemimpin yang sejati adalah satu jiwa atau satu peribadi yang lain dari yang lain.[21]  Oleh yang demikian, keturunan dan keilmuan bukanlah merupakan faktor utama mendorong seseorang untuk menjadi pemimpin dan tidak semua pemimpin yang sejati mempunyai sifat yang sedemikian.
Terdapat faktor-faktor lain yang mendorong seseorang untuk menjadi pemimpin, diantaranya agama, fahaman yang dipegang, perebutan pengaruh. HAMKA menegaskan:
“Agama yang dipeluk atau kitab-kitab yang dibaca atau suatu fahaman yang dipegang teguh, semuanya pun menentukan corak pemimpin, bahkan perlombaan perebutan pengaruh dan kuasa dengan pemimpin yang lain yang sama-sama hidup menjadi saingan juga buat menentukan kelemahan dan kekuatan...”.[22]
Keghairahan untuk mendapatkan sesuatu pangkat dan kedudukan adalah salah satu faktor mendorong seseorang menjadi munafik, bagi mereka gelaran pemimpin adalah merupakan satu kemegahan peribadi, walaupun tidak ada garis panduan yang nyata tentang apa yang akan dipimpinnya.[23] Oleh yang demikian Rasulullah melarang dari meminta-minta untuk dilantik sebagai pemimpin melalui hadith baginda SAW:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا[24]
Maksudnya: “Diberitakan dari Abdul Rahman bin Samurah, beliau berkata: bahawa Rasulullah SAW besabda kepadaku: Wahai Abdul Rahman! Jaganlah engkau meminta untuk menjadi pemimpin, kerana sesungguhnya jika engkau diberi kuasa kerana meminta, maka engkau akan dibebaninya. Sebaliknya jika engkau diberi kuasa tanpa meminta, maka engkau akan dibantu (oleh Allah)”.
Menurut HAMKA, Allah SWT telah menjelaskan dengan terang dan tanpa berlindung bahwa perkara yang membentuk pimpinan ialah tiga yaitu Allah, rasul dan orang yang beriman, mereka adalah merupakan saluran yang akan menyalurkan kehendak Allah dan rasul dalam mengemudi umat serta mencapai ridha Allah.[25] Ini telah termaktub dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah (5): 55-56:
$uK¯RÎ) ãNä3ŠÏ9ur ª!$# ¼ã&è!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# tbqßJÉ)ムno4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# öNèdur tbqãèÏ.ºu ÇÎÎÈ   `tBur ¤AuqtGtƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¨bÎ*sù z>÷Ïm «!$# ÞOèd tbqç7Î=»tóø9$# ÇÎÏÈ  

Maksudnya: “Sesungguhnya Penolong kamu hanyalah Allah, dan RasulNya, serta orang-orang yang beriman, yang mendirikan sembahyang, dan menunaikan zakat, sedang mereka ruku„ (tunduk menjunjung perintah Allah). Dan sesiapa yang menjadikan Allah dan rasulNya serta orang-orang yang beriman itu penolongnya (maka berjayalah dia), kerana sesungguhnya golongan (yang berpegang kepada agama) Allah, itulah yang tetap menang”.
Ayat 55 Surah al-Ma’idah merupakan suatu pernyataan yang tegas tentang pimpinan Islam dan tidak ada pimpinan Islam selain dari tiga faktor membentuk pimpinan iaitu Allah, rasul dan orang-orang yang beriman. Pemimpin datang dari Allah SWT, disampaikan oleh rasul dan dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman.[26]
Allah memimpin jiwa orang-orang Islam kepada petunjuk dan hidayatNya serta dari gelap kepada terang. Pemimpin yang kedua bagi orang-orang Islam ialah Rasulullah, baginda mewakili Allah SWT untuk memimpin mukmin dan menunjukkan suri tauladan melalui sunnahnya. Pemimpin yang ketiga pula adalah orang-orang yang beriman, mereka akan membawa golongan mukmin ke arah pemimpin yang pertama dan kedua. Pimpinan seperti ini akan membawa kepada kejayaan kepada Islam dan penganutnya di dunia dan akhirat.[27]
Menurut HAMKA, walaupun seseorang itu tidak dapat memimpin orang ramai, sekurang-kurangnya dia hendaklah menjadi suami yang memimpin isteri dan anak-anaknya.[28] Jika seseorang itu telah dinobatkan sebagai pemimpin, dia hendaklah bertanggungjawab kepada semua rakyat yang berada di bawah naungan mereka, ini seperti apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadith baginda:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ....[29]
Maksudnya: “Bahawa „Abdullah bin „Umar telah berkata: aku telah mendengar bahawa Rasulullah SAW bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang imam (pemimpin) bertanggungjawab terhadap rakyat di bawah pimpinannya. Seorang lelaki bertanggungjawab terhadap ahli keluarga serta mereka yang terletak di bawah tanggungannya...”.
Menurut HAMKA, kita semua adalah memikul tanggung jawab kerana kita dipimpin oleh orang atasan kita, kita pula memimpin dan bertanggungjawab terhadap orang yang berada di bawah tanggungan kita. Seorang raja memimpin rakyat jelata, suami memimpin anak-anak dan isteri, manakala seorang isteri merupakan pemimpin dalam rumah tangga suaminya.[30]
c.       Kriteria pemimpin
HAMKA telah mencadangkan empat sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin bertujuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan ditempuh oleh para pemimpin agar mereka berjaya dalam pimpinan mereka, sifat-sifat tersebut adalah seperti berikut:
1)      Amanah (jujur)
Makna amanah untuk pemimpin lebih tinggi dari makna amanah orang biasa, oleh yang demikian, para pemimpin janganlah membelanjakan harta awam untuk kepentingan diri sendiri, pemimpin juga dilarang mengkhianati kawan-kawannya. Mereka wajib jujur, ikhlas, tidak terlalu banyak menabur janji yang tidak dapat dipenuhi serta mereka hendaklah berusaha bersungguh-sungguh. Mereka bukanlah seorang yang jujur jika keadaan yang sebenarnya disembunyikan kepada pengikutnya. Kejujuran seorang pemimpin terletak pada keberaniannya dalam meninjau kembali pendirian yang akan berubah kerana perubahan waktu atau tempat.[31]
2)      Berani
Sifat berani amat penting pada saat-saat genting, sebaliknya keraguan adalah permulaan kepada kekalahan. Para pemimpin hendaklah mempunyai sifat berani berterus terang untuk meluruskan kembali pendapat umum yang salah dan menyeleweng, walaupun mereka akan marah atau murka terhadap tindakan pemimpin tersebut.[32]
3)      Bijaksana
Bijaksana ialah pandangan jauh menampakkan sesuatu yang belum jelas kelihatan oleh orang lain. Para pemimpin wajib mempunyai sifat bijaksana tersebut kerana sesebuah negara banyak memeterai perjanjian dengan negara-negara luar. Kebijaksanaan pemimpin diukur bukan sahaja dalam menjalankan tugas-tugas dalam negara, malah ia merangkumi hal-hal luar negara. Pemimpin yang bijaksana disebabkan banyak pengalaman adalah amat penting dan pemimpin yang bijaksana dapat mengukur kekuatannya.[33]
4)      Timbang rasa
Para pemimpin hendaklah mempunyai sikap timbangrasa atau setia kawan, yaitu keteguhan hubungan pemimpin dengan rakyat terutamanya dengan rakan-rakan mereka yang terdekat. Para pemimpin sejati merasai apa yang dirasai oleh rakyat-rakyatnya, menyelami apa yang dideritai oleh rakyat jelata dan hati mereka sentiasa terbuka menerima rakyat.[34]
d.      Asas memilih pemimpin
Al-Qur‟an telah menggariskan dua asas utama dalam memilih pemimpin, pertama ialah ilmu. Ilmu yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin ialah ilmu berkaitan dengan tugas yang sedang dihadapi, agar dia tidak ragu-ragu dalam menjalankan pimpinannya. Tidak perlu bagi pemimpin mengetahui segala cabang ilmu, yang amat penting baginya ialah mempunyai ilmu tentang mempergunakan tenaga, dia wajib tahu memilih tenaga yang akan ditugaskan untuk menghadapi suatu pekerjaan, sebagai contoh Abu Bakar al-Siddiq telah melantik Khalid bin Al-Walid sebagai panglima perang, walaupun perlantikan tersebut tidak dipersetujui oleh Umar bin Al-Khattab lantaran terdapat beberapa tabiat Khalid yang tidak digemari oleh beliau. Abu Bakar telah meletakkan orang yang sesuai pada tempatnya (the right man in the right place).
Kesehatan tubuh badan adalah merupakan asas yang kedua dalam memilih pemimpin, ini seperti mempunyai bentuk badan yang tampan yang boleh menimbulkan simpati. Seorang pemimpin yang cacat janganlah dilantik menjadi pemimpin, kecuali kecacatan yang telah menimpanya di dalam peperangan atau ketika menjalankan tugas.[35] Selain itu, seorang pemimpin janganlah turut hanyut dalam gelombang emosi orang-orang yang di bawah pimpinannya, istiqamah (keteguhan) seorang pemimpin merupakan antara faktor yang menentukan kejayaannya pada masa hadapan.[36] Di samping itu seseorang pemimpin perlu mempunyai beberapa sifat berikut; bercita-cita besar, bersabar dalam menghadapi kesusahan dan tidak mudah panik, sentiasa menunaikan janji, teguh pendirian, menutup segala pintu kesusahan dan kebinasaan, meletakkan sesuatu pada tempatnya, meneliti dengan penuh perhatian sebelum melakukan sesuatu tugas.[37]
C.    Kesimpulan
Pemimpin adalah orang yang memimpin, memimpin supaya tegak, membimbing supaya dapat berjalan, memapah supaya jangan jatuh! Atau menarik naik kalau sudah tergelincir jatuh. Al-qur’an menyinggung masalah pemimpin tidak dengan satu term saja, namun dengan berbagai term, diantara ialah: kholifah, imam, wali dan ulil amri.
Faktor yang mendorong seseorang itu untuk menjadi pemimpin, diantaranya adalah keturunan, kekuatan, Ilmu pengetahuan, agama, fahaman yang dipegang, perebutan pengaruh, kepandaian serta pemimpin lain mengakuinya sebagai pemimpin. Adapun perkara yang membentuk pimpinan ialah tiga yaitu Allah, rasul dan orang yang beriman, mereka adalah merupakan saluran yang akan menyalurkan kehendak Allah dan rasul dalam mengemudi umat serta mencapai ridha Allah.
Walaupun seseorang itu tidak dapat memimpin orang ramai, sekurang-kurangnya dia hendaklah menjadi suami yang memimpin isteri dan anak-anaknya. Jadi, kita semua adalah memikul tanggung jawab kerana kita dipimpin oleh orang atasan kita, kita pula memimpin dan bertanggungjawab terhadap orang yang berada di bawah tanggungan kita.
Sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin bertujuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan ditempuh oleh para pemimpin agar mereka berjaya dalam pimpinan mereka, sifat-sifat tersebut adalah seperti berikut: Amanah (jujur), berani, bijaksana dan timbang rasa.
Al-Qur‟an telah menggariskan dua asas utama dalam memilih pemimpin, pertama ialah ilmu. Ilmu yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin ialah ilmu berkaitan dengan tugas yang sedang dihadapi, agar dia tidak ragu-ragu dalam menjalankan pimpinannya. Kedua Kesehatan tubuh badan, ini seperti mempunyai bentuk badan yang tampan yang boleh menimbulkan simpati.


DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, Bandung: Angkasa, , 2008.
Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, j. 2, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1989.
HAMKA, “Dari Hati Ke Hati: Konsepsi Al-Qur‟an Tentang Pemimpin”, Panji Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, no. 76, 1971.
HAMKA, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, c. 2, Kuala Lumpur: Penerbitan Utusan Melayu, 1975.
HAMKA, Pemimpin Dan Pimpinan, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru & Pustaka Budaya Agensi, 1973.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 1, 1999.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 2, 1999.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 3, 1999.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 4, 1999.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 6, 1999.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 7, 1999.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 9, 1999.
Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, , 2004.
Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
Mohd Zaid Kadri, Fakta-Fakta Dari Tafsir Al-Azhar, Johor Bahru: Badan Cemerlang Sdn. Bhd., 1997.
Noresah Baharom et al, Kamus Dewan Edisi Keempat, c. 3. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010.
Raja Haji Ali Raja Muhammad Yusof, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas Pada Orang Yang Pantas Dengan Fikiran Yang Lantas, c. 2, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1999.
Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 29
Samsul nizar, memperbincangkan dinamika inteletual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, Jakarta: kencana, 2008.
Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi, j. 6, Qahirah: Dar al-Manar, 2003.


[1] Abudin Nata, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, Bandung: Angkasa,  2008, hlm 103
[2] Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm 171
[3] Ibid, hlm 172.
[4] Samsul nizar, memperbincangkan dinamika inteletual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, Jakarta: kencana, 2008, h. 17. 16
[5] Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000, h. 28
[6] Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, h. 51
[7] Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, Jakarta: Gema Insani, 2006, h.60
[8] Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata............ h. 51
[9] Mohammad damami, Tasawuf Positif .........., h. 29
[10] Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, Jakarta: Kencana, 2008, h. 29
[11] Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983,h. 52
[12] Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam......................h. 29
[13] Noresah Baharom et al, Kamus Dewan Edisi Keempat, c. 3. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010, h. 1208.
[14] HAMKA, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, c. 2, Kuala Lumpur: Penerbitan Utusan Melayu, 1975, h. 62.
[15] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 2, 1999, h. 1196-1197.
[16] Ibid., j. 1, h. 159. Lihat juga HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 7, 1999, h. 5255.
[17] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 6, 1999, h. 4094. Lihat juga HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 7, 1999, h. 5065-5066 & 5617-5618.
[18] Ibid., j. 2, h. 749. Lihat HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 1, 1999, h. 628. Lihat juga HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 9, 1999, h. 7291.
[19] Ibid., j. 3, h. 1783. 
[20] Mohd Zaid Kadri, Fakta-Fakta Dari Tafsir Al-Azhar, Johor Bahru: Badan Cemerlang Sdn. Bhd., 1997, h. 462.
[21] HAMKA, Pemimpin Dan Pimpinan, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru & Pustaka Budaya Agensi, 1973, h. 5
[22] Ibid., h. 6.
[23] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 4, 1999, h. 3107.
[24] Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi, kitab al-Imarat, bab al-Nahyu „an Talab al-Imarat wa al-Hars „Alayha, no. hadith 1652. j. 6, Qahirah: Dar al-Manar, 2003, h. 518.
[25] HAMKA, “Dari Hati Ke Hati: Konsepsi Al-Qur‟an Tentang Pemimpin”, Panji Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, no. 76, 1971, h. 3-4
[26] Ibid, h. 4
[27] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 3, 1999, h. 1778-1779.
[28] HAMKA, “Dari Hati Ke Hati: Konsepsi Al-Qur‟an Tentang Pemimpin”, Panji Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, no. 76, 1971, h. 3.
[29] „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, kitab al-Jum„at, bab al-Jum„at fi al-Qura wa al-Mudun, no. hadith. 893. j. 2, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1989, h. 482.
[30] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 4, 1999, h. 2317.
[31] HAMKA, Pemimpin Dan Pimpinan, 1973, h. 18-19
[32] Ibid., h. 20
[33] Ibid., h. 22-23.
[34] Ibid., h. 24-25.
[35] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 1, 1999, h. 593.
[36] Ibid., j. 5, h. 3386.
[37] Raja Haji Ali Raja Muhammad Yusof, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas Pada Orang Yang Pantas Dengan Fikiran Yang Lantas, c. 2, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1999, h. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...