PANDANGAN HAMKA TENTANG PEMIMPIN DALAM TAFSIR AL-AZHAR
Disusun
guna
untuk memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Pemikiran Tafsir Indonesia
Dosen
Pengampu: Shofaussamawati, M.Ag., M.S.I
Disusun
oleh:
M.
Nurun Ni’am NIM.
1530110059
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN / IQT 4B
2017
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan
pedoman dan petunjuk dalam kehidupan manusia, baik itu ayat-ayat yang tersurat
maupun yang tersirat. Al-Qur’an juga sebagai Kitab Suci umat Islam, banyak
memberikan petunjuk tentang masalah pemimpin, berupa ketentuan-ketentuan, nilai
etis yang sangat diperlukan dalam kepemimpinan tersebut.[1]
Masalah Pemimpin
merupakan persoalan keseharian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kemajuan dan kemunduran masyarakat, organisasi, usaha, bangsa dan
Negara antara lain dipengaruhi oleh pemimpinnya. Oleh karena itu sejumlah teori
tentang pemimpin bermunculan dan berkembang. Islam sebagai rahmat bagi seluruh
manusia, telah meletakkan persoalan pemimpin sebagai salah satu persoalan pokok
dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk
melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa kemaslahatan,
menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
Sejarah Islam telah membuktikan
pentingnya masalah pemimpin ini setelah wafatnya Rasul. Para sahabat telah
memberi penekanan dan keutamaan dalam mencari pengganti beliau dalam memimpin
umat Islam. Pentingnya persoalan pemimpin ini perlu dipahami dan dihayati oleh
setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini,
meskipun Indonesia bukanlah Negara Islam.
Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi dan Rasul terahir merupakan suri teladan umat manusia sedunia dan
termasuk untuk persoalan kepemim-pinan. Beliau sebagai kepala pemerintahan yang
berhasil meletakkan sendi kenegaraan yang diridhai Allah SWT. Beliau
mempersatukan kabilah-kabilah Arab, menerima dan mengirim duta, serta membuat
perjanjian.[2]
Jadi tugas dari pemimpin
adalah mengelola perbedaan dan keragaman rakyatnya sebagai aset dan kekuatan
negara.Tugas pemimpin bukanlah memaksakan persamaan. Namun untuk menghargai
perbedaan dan keragaman, perbedaan suku, ras, dan apapun dikalangan rakyat
semuanya menjadi ladang kompetisi untuk menjadi mulia dan bertaqwa di sisi Allah
SWT, dan yang paling berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk itu
adalah pemimpin.[3]
Al-Qur’an sebagai
kumpulan peraturan dasar bagi manusia untuk hidup didunia maupun diakhirat,
sudah tentu ada juga ayat-ayat yang membahas tentang pemimpin. Menurut HAMKA ada
berbagai kata yang digunakan mengenai pembahasan tentang pemimpin, diantaranya
ialah: Kholifah, Al-Imam, Wali dan Ulil Amri. Untuk mengetahui
lebih jauh penjelasan dari ayat-ayat tersebut, penulis akan memaparkan
penafsiran HAMKA mengenai ayat-ayat tersebut dalam tafsirnya “Tafsir Al-Azhar”.
Berdasarkan latar belakang di atas,
agar penelitian lebih spesifik dan terarah maka di bawah ini disusun beberapa
pokok rumusan masalah di antaranya:
1. Bagaimana biografi HAMKA?
2. Bagaimana pandangan HAMKA tentang pemimpin dalam tafsir
Al-Azhar?
B.
Pembahasan
1.
Biografi HAMKA
Di tepi danau Maninjau, di suatu
kampung bernama Tanah Sirah, termasuk daerah Negeri Sungai batang yang konon
sangat indah pemandangan alamnya, pada hari Ahad petang malam senin, tanggal 13
masuk 14 Muharram 1326 H., atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang bayi
laki-laki dalam keluarga ulama DR. Haji Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Haji Rasul, yang merupakan tokoh pembaharuan Islam di
ranah Minang. Ia pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya
bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji
Zakariya (W. 1934).[4] Bayi laki-laki itu diberi nama
“Abdul Malik”; nama itu di ambil DR. Haji Abdul Karim Amrullah untuk mengenang
anak gurunya, Syekh Ahmad Khathib di Mekkah, yang bernama Abdul Malik pula.
Abdul Malik bin Syekh Ahmad Khathib ini pada zaman pemerintahan Syarif Husain
di Mekkah, pernah menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir, barangkali
dimaksudkan sebagai do’a nama kepada penyandangnya.[5]
Di waktu masih kecil Hamka
selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari beliau.[6] Nama
HAMKA melekat setelah ia pergi untuk pertama kalinya naik haji ke Mekah pada
tahn 1927.[7] HAMKA
(akronim pertama bagi orang indonesia, red)., yaitu potongan dari nama lengkap,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah.[8]
Hamka kecil terkenal sebagai
anak yang nakal, hampir seluruh penduduk kampung sekeliling padang panjang
tidak ada yang tidak kenal akan “kenakalan” Hamka kecil ini.[9] Menurut
Hamka sendiri, kenakalannya itu semakin menjadi-jadi setelah dia menghadapi dua
hal yang sama sekali belum dapat dipahaminya. Pertama, dia tidak
mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang dilakukannya sedangkan menurut
pertimbangan akalnya justru apa yang dilakukan itu telah sesuai dengan anjuran
ayahnya sendiri. Hal kedua, yakni hal yang antara lain menybabkan
kenakalan Hamka kecil menjadi-jadi, adalah peristiwa perceraian antara ayahnya,
DR.Haji Abdul Karim Amrullah, dengan ibunya tercinta shafiyah. Kejadian ini
sangat memukul batin Hamka kecil.
Pada saat berusia sekitar 10 tahun Hamka meninggalkan
kampungnya, untuk belajar di perguruan Islam modern Sumatra Thawalib di Padang
Panjang. Disana ia mempelajari ilmu agama Islam dan mendalami bahasa Arab.
Kemampuannya dalam berbahasa Arab menjadi modal baginya untuk mendalami
ilmu Islam dan sastra, dengan membaca secara luas literatur-literatur Arab. Hamka
dikenal sebagai petualang sehingga ayahnya menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada
tahun 1926, saat berusia 16 tahun Hamka merantau ke tanah jawa. Ia memang tidak
betah tinggal bersama orang tuanya yang bercerai, yang membuat Hamka memiliki
ayah tiri dan ibu tiri.
Di Jawa Hamka belajar dan berdekatan dengan
tokoh-tokoh pergerakan Islam, seperti HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo,
RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin (ayah KH AR Fakhruddin). Ia juga menemui
kakak iparnya, AR Sutan Mansur yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang
Pekalongan. Hamka berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan mulai
berkiprah dalam organisasi tersebut. Hamka kembali ke rumah ayahnya di
Padangpanjang pada Juli 1925.
Pada Februari 1927 Hamka yang saat itu tidak rukun
dengan ayahnya berangkat ke Mekah secara diam-diam untuk menunaikan ibadah haji
dan bermukim disana. Sepulang dari Mekah, pada 5 April 1929 Hamka dinikahkan
dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya).
Perakwinannnya dengan Siti Raham berjalan harmonis dan bahagia. Dari
perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain
Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan,’Aliyah,
Fatchiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib.[10] Satu
tahun delapan bulan setelah istri pertama meninggal, pada tanggal 19 Agustus
1973, ia menikah lagi dengan Hajah Siti Khadijah dari Cirebon Jawa Barat.[11] Dengan
pernikahannya dengan Hj. Siti Khadijah, ia tidak memperoleh keturunan karena
faktor usia.[12].
Semenjak menikah dengan Siti Raham, Hamka bersama
ayahnya mengembangkan Muhammadiyah di Sumatra. Hamka memangku berbagai jabatan
hingga menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang. Pada 1931 Hamka diutus
oleh PP Muhammadiyah untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah di Ujungpandang. Pada
1934 Hamka kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul
Muhammadiyah Sumatra Tengah.
Pada tahun 1936 Hamka hijrah ke Medan dan meneruskan
kiprahnya di Muhammadiyah Sumatra Timur. Di kota itu Hamka memimpin majalah
Pedoman Masyarakat. Hamka pun kembali menekuni ilmu sastra. Dua karyanya dalam
bidang sastra, yaitu roman percintaan berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah dan
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sangat laris terjual pada saat itu. Namanya
kemudian melambung dan mendapat predikat sebagai Ulama Roman.
Pada 1949 Hamka pindah ke Jakarta. Di Jakarta Hamka
bekerja di Kementrian Agama. Hamka pun menjadi anggota Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Pada 1955 Hamka menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu tahun
1955. Ia dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi,
Jawa Tengah. Konsituante ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1959.
Hamka kemudian menerbitkan majalah tengah bulanan,
Panji Masyarakat. Majalah ini sempat membuat Soekarno marah dan Panji
Masyarakat akhirnya dibreidel pada 17 Agustus 1960 karena memuat tulisan mantan
Wakil Presiden Muhammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Tulisan itu
berisi kritik tajam terhadap Soekarno atas konsepsi Demokarsi Terpimpin.
Majalah ini terbit kembali pada 1967.
Hamka menjadi musuh bagi pendukung Demokrasi
Terpimpin. Banyak tuduhan dialamatkan kepada Hamka dan tokoh Masyumi lainnya,
seperti kontra revolusioner hingga tuduhan merencanakan gerakan subversif.
Karya Hamka banyak digugat sampai muncul tuduhan bahwa karyanya yang berjudul Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck merupakan plagiat.
Pada Januari 1964 Hamka ditangkap dan dikirim ke rumah
tahanan di Sukabumi. Selama lima belas hari Hamka mengalami berbagai
siksaan saat di introgasi siang dan malam. Setelah tiga bulan di Sukabumi,
Hamka dipindahkan ke rumah tahanan di Cimacan, Puncak. Karena sakit, Hamka
kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit sampai dibebaskan pada 1966. Selama di
dalam tahanan inilah Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, tafsir al-Quran yang
merupakan kajian Hamka dalam kuliah subuh yang disampaikan di masjid Al-Azhar.
Pada masa awal Orde Baru Hamka cukup dekat dengan
pemerintah. Hamka sering diminta ceramah di istana negara selain diberikan
ruang untuk ceramah di RRI dan TVRI. Pada tahun 1975 pemerintah mendirikan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Hamka terpilih menjadi ketua. Tetapi Hamka
menolak gaji dari jabatannya sebagai ketua MUI.
Pada April 1981 Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa
larangan mengikuti acara perayaan natal bersama bagi orang Islam. Fatwa
tersebut muncul karena pemerintah saat itu gencar berkampanye tentang kerukunan
hidup beragama dan menganjurkan masyarakat untuk saling menghadiri acara
keagamaan, hingga populerlah acara natal bersama. Tetapi fatwa itu mendapat
kritikan dari Menteri Agama saat itu. Hamka yang menolak untuk mencabut fatwa
itu memilih untuk meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI pada 21 Mei
1981. Pada 24 Juli 1981 Hamka meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Hamka
dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta dengan diantar ribuan masyarakat, termasuk
Menteri Agama.
2.
Pandangan HAMKA tentang pemimpin dalam tafsir Al-Azhar
a.
Definisi
pemimpin
Menurut Kamus Dewan, pemimpin ialah
orang yang memimpin.[13]
Manakala menurut HAMKA, pemimpin ialah; “memimpin supaya tegak. Membimbing
supaya dapat berjalan, memapah supaya jangan jatuh! Atau menarik naik kalau
sudah tergelincir jatuh. Tegak ke muka kalau bahaya datang mengancam”.[14] Hak
kepimpinan hendaklah diberikan kepada lelaki, kerana ia adalah perintah dari
Allah SWT serta sesuai dengan keadaan jasmani dan rohani manusia.[15]
Perkataan khalifah juga digunakan oleh HAMKA bagi menjelaskan maksud
pemimpin, khalifah bermaksud pengganti Rasulullah SAW dalam urusan
pemerintahan atau menjadi pengganti untuk melaksanakan hukuman Allah dalam
pemerintahan.[16]
HAMKA juga sering menggunakan perkataan imam
untuk tujuan yang sama, imam bermaksud pemimpin yang diikuti oleh
seseorang, oleh yang demikian seseorang yang tidak mempunyai pemimpin (imam)
untuk diikuti di dunia, maka ia akan buta hati dari agama, sehingga
kehidupannya di akhirat menjadi gelap. Jika seseorang tidak beriman kepada
kebenaran, nescaya ia akan memilih imam ke arah kesesatan secara terus
menerus.[17]
Perkataan wali juga digunakan oleh HAMKA dalam menjelaskan masksud
pemimpin, penguasa, pengatur, pengurus, pemuka, penolong dan pelindung yang
beriman kepada Allah.[18] Hal-hal
berkaitan pemimpin adalah merupakan perkara penting, oleh yang demikian, Allah
SWT sentiasa memberi peringatan kepada orang yang beriman secara berulang kali
tentangnya.[19]
Menurut Mohd Zaid Kadri, melalui Tafsir Al-Azhar, HAMKA
telah membincangkan hal-hal berkaitan pemimpin secara khusus dalam jilid satu
hingga jilid lima serta jilid 8, kebanyakkannya berkisar di bawah tajuk memilih
pemimpin, sifat-sifat pemimpin, memberi teguran yang membina kepada pemimpin,
orang kafir tidak layak untuk dipilih sebagai pemimpin, istiqamah dalam
kepimpinan dan bertambah tinggi kedudukan pemimpin semakin jelas kelemahannya.[20]
b.
Faktor-faktor
yang mendorong seseorang menjadi pemimpin
Menurut HAMKA, terdapat beberapa faktor yang mendorong seseorang
itu untuk menjadi pemimpin, diantaranya keturunan, kekuatan, kepandaian serta
pemimpin lain mengakuinya sebagai pemimpin. Ilmu pengetahuan juga dapat
menaikkan seseorang menjadi pemimpin, tetapi pemimpin yang sejati kerapkali
tidaklah terdiri dari orang yang sangat pintar dan mempunyai kelulusan tinggi,
malahan kerapkali pemimpin-pemimpin besar dunia mempergunakan orang-orang yang
berilmu sebagai pembantu untuk mencapai matlamatnya, pemimpin yang sejati
adalah satu jiwa atau satu peribadi yang lain dari yang lain.[21] Oleh yang demikian, keturunan dan keilmuan
bukanlah merupakan faktor utama mendorong seseorang untuk menjadi pemimpin dan
tidak semua pemimpin yang sejati mempunyai sifat yang sedemikian.
Terdapat faktor-faktor lain yang mendorong seseorang untuk menjadi
pemimpin, diantaranya agama, fahaman yang dipegang, perebutan pengaruh. HAMKA
menegaskan:
“Agama yang
dipeluk atau kitab-kitab yang dibaca atau suatu fahaman yang dipegang teguh,
semuanya pun menentukan corak pemimpin, bahkan perlombaan perebutan pengaruh
dan kuasa dengan pemimpin yang lain yang sama-sama hidup menjadi saingan juga
buat menentukan kelemahan dan kekuatan...”.[22]
Keghairahan untuk mendapatkan sesuatu pangkat dan kedudukan adalah
salah satu faktor mendorong seseorang menjadi munafik, bagi mereka gelaran
pemimpin adalah merupakan satu kemegahan peribadi, walaupun tidak ada garis
panduan yang nyata tentang apa yang akan dipimpinnya.[23] Oleh
yang demikian Rasulullah melarang dari meminta-minta untuk dilantik sebagai
pemimpin melalui hadith baginda SAW:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ
الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا[24]
Maksudnya: “Diberitakan
dari Abdul Rahman bin Samurah, beliau berkata: bahawa Rasulullah SAW besabda
kepadaku: Wahai Abdul Rahman! Jaganlah engkau meminta untuk menjadi pemimpin,
kerana sesungguhnya jika engkau diberi kuasa kerana meminta, maka engkau akan
dibebaninya. Sebaliknya jika engkau diberi kuasa tanpa meminta, maka engkau
akan dibantu (oleh Allah)”.
Menurut HAMKA, Allah SWT telah menjelaskan dengan terang dan tanpa
berlindung bahwa perkara yang membentuk pimpinan ialah tiga yaitu Allah, rasul
dan orang yang beriman, mereka adalah merupakan saluran yang akan menyalurkan
kehendak Allah dan rasul dalam mengemudi umat serta mencapai ridha Allah.[25] Ini
telah termaktub dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah (5): 55-56:
$uK¯RÎ)
ãNä3Ï9ur
ª!$#
¼ã&è!qßuur
tûïÏ%©!$#ur
(#qãZtB#uä
tûïÏ%©!$#
tbqßJÉ)ã
no4qn=¢Á9$#
tbqè?÷sãur
no4qx.¨9$#
öNèdur
tbqãèÏ.ºu
ÇÎÎÈ `tBur
¤AuqtGt
©!$#
¼ã&s!qßuur
tûïÏ%©!$#ur
(#qãZtB#uä
¨bÎ*sù
z>÷Ïm
«!$#
ÞOèd
tbqç7Î=»tóø9$#
ÇÎÏÈ
Maksudnya: “Sesungguhnya
Penolong kamu hanyalah Allah, dan RasulNya, serta orang-orang yang beriman,
yang mendirikan sembahyang, dan menunaikan zakat, sedang mereka ruku„ (tunduk
menjunjung perintah Allah). Dan sesiapa yang menjadikan Allah dan rasulNya serta
orang-orang yang beriman itu penolongnya (maka berjayalah dia), kerana
sesungguhnya golongan (yang berpegang kepada agama) Allah, itulah yang tetap
menang”.
Ayat 55 Surah al-Ma’idah merupakan suatu pernyataan yang tegas
tentang pimpinan Islam dan tidak ada pimpinan Islam selain dari tiga faktor
membentuk pimpinan iaitu Allah, rasul dan orang-orang yang beriman. Pemimpin
datang dari Allah SWT, disampaikan oleh rasul dan dilaksanakan oleh orang-orang
yang beriman.[26]
Allah memimpin jiwa orang-orang Islam kepada petunjuk dan
hidayatNya serta dari gelap kepada terang. Pemimpin yang kedua bagi orang-orang
Islam ialah Rasulullah, baginda mewakili Allah SWT untuk memimpin mukmin dan
menunjukkan suri tauladan melalui sunnahnya. Pemimpin yang ketiga pula adalah
orang-orang yang beriman, mereka akan membawa golongan mukmin ke arah pemimpin
yang pertama dan kedua. Pimpinan seperti ini akan membawa kepada kejayaan
kepada Islam dan penganutnya di dunia dan akhirat.[27]
Menurut HAMKA, walaupun seseorang itu tidak dapat memimpin orang
ramai, sekurang-kurangnya dia hendaklah menjadi suami yang memimpin isteri dan
anak-anaknya.[28]
Jika seseorang itu telah dinobatkan sebagai pemimpin, dia hendaklah
bertanggungjawab kepada semua rakyat yang berada di bawah naungan mereka, ini
seperti apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadith baginda:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ....[29]
Maksudnya: “Bahawa
„Abdullah bin „Umar telah berkata: aku telah mendengar bahawa Rasulullah SAW
bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab
terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang imam (pemimpin) bertanggungjawab
terhadap rakyat di bawah pimpinannya. Seorang lelaki bertanggungjawab terhadap
ahli keluarga serta mereka yang terletak di bawah tanggungannya...”.
Menurut HAMKA, kita semua adalah memikul tanggung jawab kerana kita
dipimpin oleh orang atasan kita, kita pula memimpin dan bertanggungjawab
terhadap orang yang berada di bawah tanggungan kita. Seorang raja memimpin
rakyat jelata, suami memimpin anak-anak dan isteri, manakala seorang isteri
merupakan pemimpin dalam rumah tangga suaminya.[30]
c.
Kriteria
pemimpin
HAMKA telah mencadangkan empat sifat yang perlu dimiliki oleh
pemimpin bertujuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan ditempuh oleh
para pemimpin agar mereka berjaya dalam pimpinan mereka, sifat-sifat tersebut
adalah seperti berikut:
1)
Amanah
(jujur)
Makna amanah untuk pemimpin lebih tinggi dari makna amanah orang
biasa, oleh yang demikian, para pemimpin janganlah membelanjakan harta awam
untuk kepentingan diri sendiri, pemimpin juga dilarang mengkhianati kawan-kawannya.
Mereka wajib jujur, ikhlas, tidak terlalu banyak menabur janji yang tidak dapat
dipenuhi serta mereka hendaklah berusaha bersungguh-sungguh. Mereka bukanlah
seorang yang jujur jika keadaan yang sebenarnya disembunyikan kepada
pengikutnya. Kejujuran seorang pemimpin terletak pada keberaniannya dalam
meninjau kembali pendirian yang akan berubah kerana perubahan waktu atau
tempat.[31]
2)
Berani
Sifat berani amat penting pada saat-saat genting, sebaliknya
keraguan adalah permulaan kepada kekalahan. Para pemimpin hendaklah mempunyai
sifat berani berterus terang untuk meluruskan kembali pendapat umum yang salah
dan menyeleweng, walaupun mereka akan marah atau murka terhadap tindakan
pemimpin tersebut.[32]
3)
Bijaksana
Bijaksana ialah pandangan jauh menampakkan sesuatu yang belum jelas
kelihatan oleh orang lain. Para pemimpin wajib mempunyai sifat bijaksana
tersebut kerana sesebuah negara banyak memeterai perjanjian dengan
negara-negara luar. Kebijaksanaan pemimpin diukur bukan sahaja dalam
menjalankan tugas-tugas dalam negara, malah ia merangkumi hal-hal luar negara.
Pemimpin yang bijaksana disebabkan banyak pengalaman adalah amat penting dan
pemimpin yang bijaksana dapat mengukur kekuatannya.[33]
4)
Timbang
rasa
Para pemimpin hendaklah mempunyai sikap timbangrasa atau setia
kawan, yaitu keteguhan hubungan pemimpin dengan rakyat terutamanya dengan
rakan-rakan mereka yang terdekat. Para pemimpin sejati merasai apa yang dirasai
oleh rakyat-rakyatnya, menyelami apa yang dideritai oleh rakyat jelata dan hati
mereka sentiasa terbuka menerima rakyat.[34]
d.
Asas
memilih pemimpin
Al-Qur‟an telah menggariskan dua asas utama dalam memilih pemimpin,
pertama ialah ilmu. Ilmu yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin ialah ilmu
berkaitan dengan tugas yang sedang dihadapi, agar dia tidak ragu-ragu dalam
menjalankan pimpinannya. Tidak perlu bagi pemimpin mengetahui segala cabang
ilmu, yang amat penting baginya ialah mempunyai ilmu tentang mempergunakan
tenaga, dia wajib tahu memilih tenaga yang akan ditugaskan untuk menghadapi
suatu pekerjaan, sebagai contoh Abu Bakar al-Siddiq telah melantik Khalid bin
Al-Walid sebagai panglima perang, walaupun perlantikan tersebut tidak
dipersetujui oleh Umar bin Al-Khattab lantaran terdapat beberapa tabiat Khalid
yang tidak digemari oleh beliau. Abu Bakar telah meletakkan orang yang sesuai
pada tempatnya (the right man in the right place).
Kesehatan tubuh badan adalah merupakan asas yang kedua dalam
memilih pemimpin, ini seperti mempunyai bentuk badan yang tampan yang boleh
menimbulkan simpati. Seorang pemimpin yang cacat janganlah dilantik menjadi
pemimpin, kecuali kecacatan yang telah menimpanya di dalam peperangan atau
ketika menjalankan tugas.[35] Selain
itu, seorang pemimpin janganlah turut hanyut dalam gelombang emosi orang-orang
yang di bawah pimpinannya, istiqamah (keteguhan) seorang pemimpin merupakan
antara faktor yang menentukan kejayaannya pada masa hadapan.[36] Di
samping itu seseorang pemimpin perlu mempunyai beberapa sifat berikut;
bercita-cita besar, bersabar dalam menghadapi kesusahan dan tidak mudah panik,
sentiasa menunaikan janji, teguh pendirian, menutup segala pintu kesusahan dan
kebinasaan, meletakkan sesuatu pada tempatnya, meneliti dengan penuh perhatian
sebelum melakukan sesuatu tugas.[37]
C.
Kesimpulan
Pemimpin adalah orang yang memimpin, memimpin supaya tegak, membimbing
supaya dapat berjalan, memapah supaya jangan jatuh! Atau menarik naik kalau
sudah tergelincir jatuh. Al-qur’an menyinggung masalah pemimpin tidak dengan
satu term saja, namun dengan berbagai term, diantara ialah: kholifah, imam,
wali dan ulil amri.
Faktor yang mendorong seseorang itu untuk menjadi pemimpin, diantaranya
adalah keturunan, kekuatan, Ilmu pengetahuan, agama, fahaman yang dipegang,
perebutan pengaruh, kepandaian serta pemimpin lain mengakuinya sebagai pemimpin.
Adapun perkara yang membentuk pimpinan ialah tiga yaitu Allah, rasul dan orang
yang beriman, mereka adalah merupakan saluran yang akan menyalurkan kehendak
Allah dan rasul dalam mengemudi umat serta mencapai ridha Allah.
Walaupun seseorang itu tidak dapat memimpin orang ramai,
sekurang-kurangnya dia hendaklah menjadi suami yang memimpin isteri dan
anak-anaknya. Jadi, kita semua adalah memikul tanggung jawab kerana kita
dipimpin oleh orang atasan kita, kita pula memimpin dan bertanggungjawab
terhadap orang yang berada di bawah tanggungan kita.
Sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin bertujuan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan ditempuh oleh para pemimpin agar mereka
berjaya dalam pimpinan mereka, sifat-sifat tersebut adalah seperti berikut:
Amanah (jujur), berani, bijaksana dan timbang rasa.
Al-Qur‟an telah menggariskan dua asas utama dalam memilih pemimpin,
pertama ialah ilmu. Ilmu yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin ialah
ilmu berkaitan dengan tugas yang sedang dihadapi, agar dia tidak ragu-ragu
dalam menjalankan pimpinannya. Kedua Kesehatan tubuh badan, ini seperti
mempunyai bentuk badan yang tampan yang boleh menimbulkan simpati.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang
Kemasyarakatan, Bandung: Angkasa, , 2008.
Ali bin Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, j. 2, Beirut: Dar
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1989.
HAMKA, “Dari
Hati Ke Hati: Konsepsi Al-Qur‟an Tentang Pemimpin”, Panji Masyarakat,
Jakarta: Yayasan Nurul Islam, no. 76, 1971.
HAMKA,
Kedudukan Perempuan Dalam Islam, c. 2, Kuala Lumpur: Penerbitan Utusan
Melayu, 1975.
HAMKA, Pemimpin
Dan Pimpinan, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru & Pustaka Budaya
Agensi, 1973.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 1,
1999.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 2,
1999.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 3,
1999.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 4,
1999.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 6,
1999.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 7,
1999.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., j. 9,
1999.
Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang
berpengaruh pada abad 20, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an,
Jakarta: Bumi Aksara, , 2004.
Mohammad
damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2000.
Mohd Zaid
Kadri, Fakta-Fakta Dari Tafsir Al-Azhar, Johor Bahru: Badan Cemerlang
Sdn. Bhd., 1997.
Noresah Baharom et al, Kamus Dewan Edisi
Keempat, c. 3. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010.
Raja Haji Ali
Raja Muhammad Yusof, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas Pada Orang Yang
Pantas Dengan Fikiran Yang Lantas, c. 2, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah,
1999.
Samsul nizar, Memperbincangkan
dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam,
(Jakarta; Kencana, 2008), h. 29
Samsul nizar, memperbincangkan
dinamika inteletual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, Jakarta:
kencana, 2008.
Titiek W.S,
Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, Jakarta:
Sinar Harapan, 1983.
Yahya bin
Sharaf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi, j. 6, Qahirah: Dar
al-Manar, 2003.
[1] Abudin Nata, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang
Kemasyarakatan, Bandung: Angkasa,
2008, hlm 103
[2] Inu
Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara,
2004, hlm 171
[3] Ibid,
hlm 172.
[4]
Samsul nizar, memperbincangkan dinamika inteletual dan pemikiran HAMKA
tentang pendidikan islam, Jakarta: kencana, 2008, h. 17. 16
[5] Mohammad
damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2000, h. 28
[6]
Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati
umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, h. 51
[7] Herry
Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, Jakarta:
Gema Insani, 2006, h.60
[8]
Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA
dimata............ h. 51
[9]
Mohammad damami, Tasawuf Positif .........., h. 29
[10]
Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA
tentang pendidikan islam, Jakarta: Kencana, 2008, h. 29
[11]
Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati
umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983,h. 52
[12]
Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA
tentang pendidikan islam......................h. 29
[13] Noresah
Baharom et al, Kamus Dewan Edisi Keempat, c. 3. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2010, h. 1208.
[14] HAMKA, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, c. 2, Kuala
Lumpur: Penerbitan Utusan Melayu, 1975, h. 62.
[15] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, c. 3, Singapura: Pustaka
Nasional Pte. Ltd., j. 2, 1999, h. 1196-1197.
[16] Ibid., j. 1, h. 159.
Lihat juga HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 7, 1999, h. 5255.
[17] HAMKA, Tafsir
Al-Azhar, j. 6, 1999, h. 4094. Lihat juga HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j.
7, 1999, h. 5065-5066 & 5617-5618.
[18] Ibid., j. 2, h. 749.
Lihat HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 1, 1999, h. 628. Lihat juga HAMKA, Tafsir
Al-Azhar, j. 9, 1999, h. 7291.
[19] Ibid., j. 3, h.
1783.
[20]
Mohd Zaid Kadri, Fakta-Fakta Dari Tafsir Al-Azhar, Johor Bahru: Badan
Cemerlang Sdn. Bhd., 1997, h. 462.
[21]
HAMKA, Pemimpin Dan Pimpinan, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru &
Pustaka Budaya Agensi, 1973, h. 5
[22] Ibid.,
h. 6.
[23]
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 4, 1999, h. 3107.
[24] Yahya
bin Sharaf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi, kitab al-Imarat,
bab al-Nahyu „an Talab al-Imarat wa al-Hars „Alayha, no. hadith 1652. j. 6,
Qahirah: Dar al-Manar, 2003, h. 518.
[25]
HAMKA, “Dari Hati Ke Hati: Konsepsi Al-Qur‟an Tentang Pemimpin”, Panji
Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, no. 76, 1971, h. 3-4
[26] Ibid,
h. 4
[27]
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 3, 1999, h. 1778-1779.
[28]
HAMKA, “Dari Hati Ke Hati: Konsepsi Al-Qur‟an Tentang Pemimpin”, Panji
Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, no. 76, 1971, h. 3.
[29]
„Ali bin Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, kitab
al-Jum„at, bab al-Jum„at fi al-Qura wa al-Mudun, no. hadith. 893. j. 2, Beirut:
Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1989, h. 482.
[30]
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 4, 1999, h. 2317.
[31]
HAMKA, Pemimpin Dan Pimpinan, 1973, h. 18-19
[32] Ibid.,
h. 20
[33] Ibid.,
h. 22-23.
[34] Ibid.,
h. 24-25.
[35]
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, j. 1, 1999, h. 593.
[36] Ibid.,
j. 5, h. 3386.
[37]
Raja Haji Ali Raja Muhammad Yusof, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas Pada
Orang Yang Pantas Dengan Fikiran Yang Lantas, c. 2, Kuala Lumpur: Khazanah
Fathaniyah, 1999, h. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar