Rabu, 07 Juni 2017

KARAKTERISTIK DAN PROBLEMATIKA TAFSIR PADA MASA MODERN




KARAKTERISTIK DAN PROBLEMATIKA TAFSIR PADA MASA MODERN
Disusun
guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Tafsir
Dosen Pengampu: Shofaussamawati, M.Ag,. M.S.I














Disusun oleh:
M. Nurun Ni’am                     NIM. 1530110059
Siti Khumaidah                       NIM. 15301100
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / IQT 4B
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian  tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual  Islam memang tidak pernah  mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kembali kajian sebelumnya, yang di anggap out date. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Survei yang dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i..
Merujuk pada temuan ulama’ kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an  pemilahan metode tafsir al qur`an  kepada empat metode (1). Ijmali ( Global ) (2). Tahlili ( Analis ) (3). Muqoron ( Perbandingan ) (4). Maudlu`i ( Tematik ), ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual (menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan  berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer. Dalam makalah ini penulis berusaha melacak tentang corak dan  metodologi tafsir modern kontemporer serta para tokohh-tokoh yang ikut andil dalam menggagas dan mengengbangkan wacana tafsir modern kontemporer.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan tafsir pada masa modern?
2.      Bagaimana karakteristik tafsir modern?
3.      Siapa sajakah tokoh mufassir pada masa ini?
4.      Apa saja probelamtika dalam tafsir modern?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan tafsir pada masa modern
1.      Pengertian tafsir modern
Secara teoritis, tafsir berarti usaha untuk memperluas makna teks Al Qur`an, Sedangkan secara praktis berarti usaha untuk mengadaptasikan “Teks al qur`an dengan situasi kontemporer seorang mufasir. Berarti tafsir modern adalah; usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat al qur`an dengan tuntutan Zaman[1]. “kontemporer”  bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris (contemporary)[2]. Tak ada kesepakatan yang jelas tentang Istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 stsu 21.? Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern[3].
Bila tidak dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak orang sebab akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman, sebuah statemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern adalah; merekonstruksi kembali produk-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern[4].
2.      Kemunculan Tafsir Modern
Abad ke- 19 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu[5]. Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual  Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date[6]. Kemunculan metode tafsir modern diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting[7].
B.     Karakteristik tafsir modern
1.      Corak tafsir
Survei yang dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i[8].
a.      Tafsir `lmi
Setiap muslim mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya “tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ( Qs. Al An`am (6) : 38 )[9].
Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, Dan lain-lain. Bahkan secara vokal Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam al qur`an.
b.      Tafsir filologi
Amin AL Khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistematis, ada tiga kerangka yang ia lakukan; Pertama, seoraong mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dalam al qur`an yang tidak hanya menggunakan kamus saja, tetapi juga dengan kata-kata al qur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana al qur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi Amin al Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran al qur`an. Istrinyalah, yakni Bint Syathi, yang merealisasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk penafsiran. Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al Bayan.
c.       Adabi  ijtima`i
Tafsir adabbi ijtima`i muncul untuk “ menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu, diskursus-diskursus yang mencuat dari madrasah ini adalah kritikan tajam terhadap tafsir tafsir klasik. Bagi para mufassir madrasah ini, alqur`an baru dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk–bentuk penafsiran yang sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada madrasah ini,. Pokok-pokok pemikiran di atas terlihat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb.
Abduh menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat (legenda-legenda Yahudi dan Nasrani) untuk menfsirkan al qur`an, yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya. Apa yang tidak dijelaskan sendiri. Menurutnya, mengandung isyarat bahwa itu tidak penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Lebih-lebih dengan menggunakan riwayat-riwayat Israiliyyat[10].
2.      Metode tafsir
Dalam melakukan penafsiran al qur`an, seorang Mufasssir biasanya merujuk kepada tradisi ulama salaf, namun tidak jarang yang merujuk pada temuan ulama kontemporer. Adapun tafsir yang merujuk ulama salaf adalah. (1). Tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa disebut al tafsir bi al ma`tsur, (2).. Tafsir yng berdasarkan dirayah, yang dikenal dengan al tafsir bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan (3). Tafsir yang berdasarkan isyarat yang popular dengan nama al tafsir al Isyri[11].
Pada perkembangan dewasa ini, ada yang merujuk pada temuan ulama’ kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an misalnya al Farmawi (di Indonesia) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya –adalah pemilahan metode tafsir al qur`an  kepada empat metode (1). Ijmali (Global) (2). Tahlili (Analis) (3). Muqarin (Perbandingan) (4). Maudlu`i (Tematik). Metode tafsir bedasarkan riwayah, dirayah, dan Isyari, dikategorikan dalam metode klasik, sedangkan empat metode yang berupa Ijmali, Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`I, ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual (menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan  berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an ) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.
Adanya pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak dimaksudkan untuk mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak favorit, tapi lebih titunjukan untuk mempermudah penelusuran sejarah metode tersebut, dan untuk melengkapi satu sama lainnya[12].
Metode kontekstual secara subtansial berkaitan erat dengan Hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosufis[13]. Jadi apabila metode ini dipertemukan dengan kajian teks al qur`an, maka persolan dari tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al qur`an hadir ditengah-tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial dewasa ini[14].
Pada dasarnya Hermeneutik berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana, maupun tulisan. Dengan demikian Hermeneutik merupakan cara baru untuk bergaul dengan bahasa. Keeratan Hermeneutik dengan bahasa membuat wilayah penafsirannya menjadi sangat luas, terutama dalam kaitannya dengan ilmu humanistik, sejarah, hukum, agama (termasuk kajian tafsir al qur`an), filsafat, seni, kesusastraan dan linguistic Disiplin ilm,u yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi, misalnya al qur`an memerlukan interpretasi atau hermeneutik, sehingga dapat dimengerti[15]. Metode hermeneutik yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu juga tidak seragam, namun sangat beragam. Keberagaman ini tentu saja muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, namun juga adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode yang ada[16].
C.    Tokoh-tokoh mufassir
Shah waliyullah (1701-1762) seorang  pembaharu islam dari Delhi, merupakan  orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “MODERN”, dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa , maka di Mesir, munculah tafsir Mohammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya[17]. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull (w. 1978), Hasan Hanaf,  Bintu Shathi (w. 2000), Nasr Abu Zayd (lahir. 1942), Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman[18].
D.    Problematika tafsir modern
Penafsir modern seperti Fazlul Rahman dan Abu Zayd menunjukan bahwa kebutuhan tafsir semacam ini bisa disajikan tanpa meninggalkan keyakinan origin ketuhanan setiap satuan kata dalam Al-Quran. Namun tidak sedikit penolakan oleh teolog muslim terhadap metode pendekatan penafsiran semacam ini, dan kadangkala mereka melakukan provokasi yang berapi-api terkait pendekatan ini dengan alasan:
1.      Paradigma tradisional hampir tidak tersaingi selama berabad-abad, dan menawarkan satu pendekatan baru yang jauh berbeda seakan-akan menyerang pendekatan tradisional dan otomatis menjadi senjata makan tuan terhadap pendekatan modern itu sendiri.
2.      Jika pendekatan modern ini diterima, maka tidak terelakkan akan terjadi kompetisi penafsiran yang sangat plural. Terlebih metode historisitas adalah metode yang dikembangkan atas dasar penelitian orientalis[19].
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan tafsir pada masa modern adalah mulai dari Abad ke- 19 sampai sekarang. Adapun sebab kemunculan tafsir ini adalah pada abad tersebut dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual  Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date
Corak pemikiran mufassir modern dapat diklasifikasikan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i. Adapun bentuk penafisrannya adalah bi al ma`tsur, bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan  bi al Isyri. Sedangkan metodenya adalah: (1). Ijmali (Global) (2). Tahlili (Analis) (3). Muqarin (Perbandingan) (4). Maudlu`i (Tematik), (5) metode kontekstual.
Tokoh mufassir di masa ini cukuplah banyak diantaranya adalah: Mohammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain di Mesir., Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya Di belahan Indo-Pakistan. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull, Hasan Hanaf,  Bintu Shathi, Nasr Abu Zayd (Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.
Uraian di atas menyimpulkan bahwa diskursus para mufassir modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al qur`an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Mereka ingin membuktikan bahwa al qur`an benar-benaar bersifat universal dan dapat menjawab tantangan zaman. Apa yang dilakukan mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio kultural masing-masing , dan tidak cocok dengan sosio-kultural diantara mereka. Oleh karena itu, dalam kemunculan mereka dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufasir modern di tempat lainnya.






DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosikhun, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001
Syukri Ahmad,“Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman”  ( Jambi : Sulton Thaha Press, 2007 )
Setiawan Nurkholi, “ Al Qur`an dalam kesejarahan klasik & kontemporer “, Jurnal study Al Qur`an, ( Ciputat : Pusat study Al Qur`an ( PSQ ) , 2006)
http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/kontribusi-dan-kritik-mufassir-untuk-tafsir-masa-depan-dari-mufassir-klasik-hingga-kontemporer/
http://usmanbis.blogspot.co.id/2016/11/tafsir-modern-karakteristik-metode-dan.html




[1] Rosikhun Anwar, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001 ),hal 283
[3] Ahmad Syukri,  “Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman”  ( Jambi : Sulton Thaha Press, 2007 ), hal 43
[4] Rosikhun Anwar, ..................hal 283
[5] Rosikhun Anwar, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001 ),hal 282
[6] Nurkholis Setiawan, “ Al Qur`an dalam kesejarahan klasik & kontemporer “, Jurnal study Al Qur`an, ( Ciputat : Pusat study Al Qur`an (   PSQ ) ), 2006), hal 93
[7] Syukri,  “Metodologi Tafsir Al Qur`an................................., hal 58
[8] Rosikhun.........................,hal 284
[9] Nurkholis..........................,hal 94
[10] Rosikhun ............................hal285-286
[11] Ahmad Syukr.................., hal 44-45
[12] Ibid,hal 46
[13] Ibid,hal 58
[14] Ahmad Syukri, .............................hal 58
[15] Ibid, hal 77
[17] Rosikhun Anwar, Samudra Al Qur`an ( Bandung : Pustaka Setia, 2001 ),hal 283
[18] Nurkholis, “ Al Qur`an dalam kesejarahan klasik & kontemporer ...................... hal 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...