Rabu, 07 Juni 2017

Mafhum & Mantuq (Qowaid Tafsir)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Qur’an mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Qur’an sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Petunjuk (dalalah) lafaz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (manthuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain, dengan takdir maupun tanpa takdir. Dan adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhum, arti tersirat)-nya, baik hukum sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. Inilah yang dinamakan dengan manthuq dan mafhum.
Oleh karena itu, agar dapat memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian manthuq dan macam-macamnya?
2.      Apa pengertian mafhum dan macam-macamnya?
3.      Apa pengertian mafhum muwafaqah dan macam-macamnya?
4.      Apa pengertian mafhum mukholafah dan macam-macamnya?


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Manthuq dan Macam-macamnya
1.     Pengertian Manthuq
Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang artinya berbicara, منطوق  (isim maf’ul) berarti yang dibicarakan. Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan)[1]. Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.[2] Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.[3]
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
2.     Macam-macam Manthuq
Dalam kitab “Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur’an” karya Prof. Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki membagi mantuq atas dua bagian, yaitu lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu nash, dan lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu zahir dan mu’awal.
a.      Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti atau nash, ialah lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih), tidak mengandung kemungkinan makna lain.[4][4] Pengertian nash yang lain yaitu merupakan suatu lafadz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukan makna yang dimaksud secara tegas, tidak mengandung kemungkinan makna lain.[5] Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 196:
فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya : “Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud dengan nash. Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 175:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
b.     Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
1)    Zahir
Zahir merupakan lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang lebih diunggulkan. Zahir ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).[6] Jadi, zahir itu sama dengan nash dalam hal penunjukkannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir  di samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 :
… وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ …
Artinya : “…dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum suci …”
Lafaz “yathhurna” mempunyai kemungkinan arti “suci dengan terhentinya haid” dan arti “suci dengan mandi janabah dan wudu”, tetapi dari kedua arti tersebut, kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih umum digunakan. Kemungkinan arti yang pertama dari contoh di atas disebut marjuh (tidak diunggulkan), sementara kemungkinan arti kedua yang kedua disebut rajih (diunggulkan).
2)    Mu’awwal,
Mu’awwal merupakan Lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang tidak diunggulkan (marjuh) karena terdapat indikasi ketidak-mungkinan diberi pemahaman dengan arti yang diunggulkan (rajih). Mu’awwal ialah lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih.[7] Mu’awwal berbeda dengan zahir, zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkan kepada yang marjuh Misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ …
Artinya : “… Dia (Allah) akan selalu bersama kalian di mana pun berada …”
Tidak mungkin memberikan kata “bersama” pada ayat itu dengan “dekat” dalam pengertian tempat yang merupakan arti rajih. Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman dengan arti lain yang marjuh. Yakni kekuasaan dan ilmu-Nya atau penjagaan dan pemeliharaan yang diberikan-Nya. Contoh lain dalam QS. Al-Isra ayat 24 :
وَاحْفَضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةَ …
Artinya : “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang …”
Tidak mungkin memberikan pemahaman kata “janah adz-dzulli” pada ayat itu dengan pengertian “sayap” yang merupakan arti rajih karena pada kenyataannya memang manusia tidak memiliki sayap. Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman dengan arti lain yang marjuh, yakni perlakuan yang baik terhadap kedua orang tua.
B.    Pengertian Mahfum dan Macam-macamnya
1.    Pengertian Mahfum
Mafhum berasal dari bahasa Arab (فهم – يفهم) yang artinya faham, مفهوم  (isim maf’ul) berarti yang difahami. Mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang dicapkan).[8] Menurut Syafi’i Karim, mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri.[9] Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.[10]
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak bersandar bunyi ucapan (makna tersirat) disebut pamahaman secara mafhum. Dengan kata lain, mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
2.    Macam-macam Mahfum
Mafhum juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.      Mafhum Muwafaqah
b.     Mafhum Mukholafah
C.    Pengertian Mahfum Muwafaqah dan Macam-macamnya
1.      Pengertian Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mahfum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.[11] Mafhum Muwafaqah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz manthuq, dengan kata lain makna yang hukumnya sesuai dengan manthuq.[12]
2.      Macam-macam Mafhum Muwafaqah  
Mafhum Muwafaqah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Fahwa al-Khitab
Fahwa al-Khitab merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum lebih kuat daripada yang dimiliki oleh lafaz mantuq, yaitu apabila hukum yang dipahami dari lafal  lebih utama dari hukum yang ditangkap langsung dari lafal itu.
Misalnya memukul, menghardik, dan meludahi orang tua yang dipahami dari firman Allah SWT dalam surah al-Isra’(17) ayat 23 di atas, berbeda kualitasnya dengan sekedar mengatakan “ah” atau “cis” kepada orang tua. Dari segi akibat, memukul, menghardik dan meludahi orang tua, lebih berat dibanding hanya sekedar mengatakan “ah” atau “cis”. Oleh sebab itu hukum makna yang dipahami di luar lafal itu bisa lebih utama (lebih tinggi kualitasnya) dari hukum yang dipahami dari lafal itu sendiri.
b.      Lahnu al-Khitab
Lahnu al-Khitab merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu sama tingkatannya dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq. Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 10 :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظلْمًا  …
Artinya : “sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim …”
Mafhum-nya, memakan harta anak yatim sama saja dengan hukum melenyapkannya, membuang atau membakarnya. Karena pada hakikatnya, makna-makna ini mengacu pada satu hal yaitu menghabiskan harta anak yatim secara dzalim.
D.   Pengertian Mahfum Mukholafah dan Macam-macamnya
1.      Pengertian Mafhum Mukholafah
Mafhum Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.[13] Mafhum Mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.[14]
2.      Macam-macam Mafhum Mukholafah
Mafhum Mukholafah dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.       Mafhum al-Washfi 
Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, tidak kewajiban mengeluarkan zakat.[15]
Mafhum sifat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)      Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Mafhumnya mukhalafahnya adalah, bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2)      Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
Mafhumnya mukhalafahnya adalah, bagi orang yang sedang ihram jika membunuh binatang tanpa sengaja maka tidak dikenakan denda.
3)    Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,.”
Mafhumnya mukhalafahnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b.      Mafhum Illiat
Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya atau sebabnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[16]
c.       Mafhum ghayah 
Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan),  lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ila” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ اِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan tidak sampai siku itu tidak sah.
d.      Mahfum laqaab 
Mahfum laqaab  (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fail. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” 
Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.[17]
e.       Mafhum hasr
Mafhum hasr  adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
f.        Mafhum syarat 
Mafhum syarat adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah jika istri-istri yang tertalak itu tidak sedang hamil, maka tidak wajib diberi nafkah.[18]






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Manthuq adalah petunjuk makna yang bersifat tekstual, yaitu petunjuk yang telah jelas pada seluruh atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz itu sendiri. Mantuq terbagi atas dua bagian, yaitu :
a.       Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
b.      Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti. Terbagi menjadi dua bagian, yaitu Zahir dan Mu’awwal.
2.      Mafhum adalah pemahaman terhadap makna yang tidak terdapat dalam suatu lafadz. Mafhum juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Mafhum Muwafaqah. 
b.      Mafhum Mukholafah
3.      Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya. Mafhum muwafaqah terbagi atas dua bagian, yaitu :
a.       Fahwa al-Khitab
b.      Lahnu al-Khitab
4. Mafhum Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum Mukhalafah terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:

a.       Mafhum al-washfhi
b.      Mafhum illat
c.       Mafhum ghayah
d.      Mafhum laqaa,
e.       Mafhum hasr 
f.        Mafhum syara




DAFTAR PUSTAKA

Karim Syafi’i, 1997,  Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Khalaf  Abdul Wahab, 2003,  Kaidah Hukum Islam,  Jakarta: Pustaka Amani
Mudzakir. AS, 2007, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera AntarNusa
Rosihon, 1999, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia
Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia
Syaikh Manna’ Al-Qaththan , 2012,  Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an , Jakarta: Pustaka Al – Kautsar


[1] Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 233
[2] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 177
[3] Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa,2007), h. 358
[4] Rosihon, Op. Cit., h. 233
[5] Syaikh Manna’ Al-Qaththan , Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an , ( Pustaka Al – Kautsar , Jakarta , 2012) , h.312
[6] Mudzakir. AS, Op. Cit., h. 359
[7] Ibid, h.360
[8] Rosihan, Op. Cit., h. 235
[9] Syafi’i Karim, Op. Cit., h.180
[10] Mudzakir. AS, Op. Cit., h. 362
[11] Syafi’i Karim, Op. Cit., h.178
[12] Rosihan, Op. Cit., h. 235
[13] Rosihan, Op. Cit., h. 235
[14] Rahmat syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) h.220
[15] Ibid, h. 220
[16] Syafi’i karim, Op. Cit., h. 183
[17] Ibid., h.184
[18] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003) h. 222

2 komentar:

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...