BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila
diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Qur’an mengandung
keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi
isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Qur’an sebagai rujukan utama umat
Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi
baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk
menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Ketika
berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari
semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang
jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih butuh penjelasan
yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini
menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan
pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat yang maknanya
tersirat di dalam ayat tersebut.
Petunjuk (dalalah)
lafaz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (manthuq, arti
tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung
kemungkinan makna lain, dengan takdir maupun tanpa takdir.
Dan adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhum, arti
tersirat)-nya, baik hukum sesuai dengan hukum mantuq ataupun
bertentangan. Inilah yang dinamakan dengan manthuq dan mafhum.
Oleh
karena itu, agar dapat memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat
dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan
guna menambah pemahaman pembaca.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian manthuq dan
macam-macamnya?
2. Apa pengertian mafhum dan
macam-macamnya?
3. Apa pengertian mafhum muwafaqah
dan macam-macamnya?
4. Apa pengertian mafhum mukholafah
dan macam-macamnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Manthuq dan Macam-macamnya
1.
Pengertian
Manthuq
Secara
etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang
artinya berbicara, منطوق (isim maf’ul) berarti yang dibicarakan. Manthuq adalah arti yang diperlihatkan
oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur
huruf yang diucapkan)[1]. Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah
sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.[2] Dan
menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut
ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang
diucapkan.[3]
Dari
definisi ini diketahui bahwa apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu
lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan
materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman
Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya
mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal
tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
2.
Macam-macam
Manthuq
Dalam kitab “Zubdah
al-Itqan fi Ulum al-Qur’an” karya Prof. Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki
membagi mantuq atas dua bagian, yaitu
lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu nash,
dan lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu zahir dan
mu’awal.
a.
Lafaz yang
tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari
satu arti atau nash, ialah lafaz yang bentuknya sendiri telah
dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih), tidak
mengandung kemungkinan makna lain.[4][4] Pengertian nash
yang lain yaitu merupakan suatu lafadz yang
bentuknya sendiri telah dapat menunjukan makna yang dimaksud secara tegas,
tidak mengandung kemungkinan makna lain.[5] Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 196:
فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya : “Maka (wajib) berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna”.
Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah
mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (metafora).
Inilah yang dimaksud dengan nash. Contoh lain dalam QS.
Al-Baqarah ayat 175:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas
tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
b.
Lafaz yang
memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
1)
Zahir
Zahir merupakan lafaz yang diberi
pemahaman dengan arti yang lebih diunggulkan. Zahir ialah
lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika diucapkan
tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).[6] Jadi, zahir itu sama dengan nash dalam hal
penunjukkannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain
ia berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna
secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir di
samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan
menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah ayat 222 :
… وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ …
Artinya : “…dan janganlah kamu mendekati
mereka sebelum suci …”
Lafaz “yathhurna” mempunyai kemungkinan
arti “suci dengan terhentinya haid” dan arti “suci dengan mandi janabah dan
wudu”, tetapi dari kedua arti tersebut, kemungkinan arti yang kedua lebih jelas
dan lebih umum digunakan. Kemungkinan arti yang pertama dari contoh di atas
disebut marjuh (tidak diunggulkan), sementara kemungkinan arti
kedua yang kedua disebut rajih (diunggulkan).
2)
Mu’awwal,
Mu’awwal merupakan Lafaz yang
diberi pemahaman dengan arti yang tidak diunggulkan (marjuh) karena
terdapat indikasi ketidak-mungkinan diberi pemahaman dengan arti yang
diunggulkan (rajih). Mu’awwal ialah lafaz yang diartikan
dengan makna marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi
dimaksudkannya makna yang rajih.[7] Mu’awwal berbeda dengan zahir,
zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak
ada dalil yang memalingkan kepada yang marjuh Misalnya firman Allah
dalam Al-Qur’an :
… وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ …
Artinya : “… Dia (Allah) akan selalu
bersama kalian di mana pun berada …”
Tidak mungkin memberikan kata “bersama” pada ayat
itu dengan “dekat” dalam pengertian tempat yang merupakan arti rajih.
Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman dengan arti lain yang marjuh.
Yakni kekuasaan dan ilmu-Nya atau penjagaan dan pemeliharaan yang
diberikan-Nya. Contoh lain dalam QS. Al-Isra ayat 24 :
وَاحْفَضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةَ …
Artinya : “dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang …”
Tidak mungkin memberikan
pemahaman kata “janah adz-dzulli” pada ayat itu dengan pengertian
“sayap” yang merupakan arti rajih karena pada kenyataannya
memang manusia tidak memiliki sayap. Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman
dengan arti lain yang marjuh, yakni perlakuan yang baik terhadap
kedua orang tua.
B.
Pengertian
Mahfum dan Macam-macamnya
1. Pengertian Mahfum
Mafhum berasal dari bahasa Arab (فهم – يفهم) yang artinya
faham, مفهوم (isim maf’ul) berarti yang
difahami. Mafhum (pemahaman) adalah
arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk
artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang dicapkan).[8] Menurut Syafi’i Karim, mafhum
adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri.[9] Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan.[10]
Dari
definisi ini diketahui bahwa apabila sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafaz
tidak bersandar bunyi ucapan (makna tersirat) disebut pamahaman secara mafhum. Dengan kata lain, mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan
oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang
terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks
firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mafhum, dimana melaluinya dapat
diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang
menyakiti keduanya.
2. Macam-macam Mahfum
Mafhum juga
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Mafhum
Muwafaqah
b.
Mafhum
Mukholafah
C.
Pengertian
Mahfum Muwafaqah dan Macam-macamnya
1. Pengertian Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk
kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku
pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mahfum muwafaqah karena hukum yang tidak
tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.[11] Mafhum Muwafaqah merupakan
pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu selaras
dengan yang dimiliki oleh lafaz manthuq, dengan kata lain makna
yang hukumnya sesuai dengan manthuq.[12]
2. Macam-macam Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Fahwa al-Khitab
Fahwa al-Khitab merupakan pemahaman yang
diberikan kepada lafaz mafhum lebih
kuat daripada yang dimiliki oleh lafaz mantuq, yaitu apabila hukum
yang dipahami dari lafal lebih utama
dari hukum yang ditangkap langsung dari lafal itu.
Misalnya memukul, menghardik, dan meludahi orang tua yang dipahami dari
firman Allah SWT dalam surah al-Isra’(17) ayat 23 di atas, berbeda kualitasnya
dengan sekedar mengatakan “ah” atau “cis” kepada orang tua. Dari segi akibat,
memukul, menghardik dan meludahi orang tua, lebih berat dibanding hanya sekedar
mengatakan “ah” atau “cis”. Oleh sebab itu hukum makna yang dipahami di luar
lafal itu bisa lebih utama (lebih tinggi kualitasnya) dari hukum yang dipahami
dari lafal itu sendiri.
b.
Lahnu
al-Khitab
Lahnu al-Khitab merupakan pemahaman yang
diberikan kepada lafaz mafhum itu sama tingkatannya dengan yang
dimiliki oleh lafaz mantuq. Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat
10 :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظلْمًا …
Artinya : “sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim …”
Mafhum-nya, memakan harta anak yatim sama saja dengan hukum melenyapkannya, membuang
atau membakarnya. Karena pada hakikatnya, makna-makna ini mengacu pada satu hal
yaitu menghabiskan harta anak yatim secara dzalim.
D.
Pengertian
Mahfum Mukholafah dan Macam-macamnya
1. Pengertian Mafhum Mukholafah
Mafhum Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu
tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata
lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.[13] Mafhum Mukhalafah adalah pengertian yang
dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi
(meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada
bunyi lafal yang diucapkan.
Seperti dalam firman Allah
swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil
untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan
dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat
ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan
sesudah mengerjakan sholat.[14]
2.
Macam-macam
Mafhum Mukholafah
Mafhum Mukholafah
dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.
Mafhum
al-Washfi
Mafhum
al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah
petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada salah
satu sifatnya. Dalam mafhum sifat
terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada
sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum sifat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)
Mustaq dalam ayat.
Contohnya
dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”
Mafhumnya mukhalafahnya adalah, bahwa berita yang disampaikan oleh
seseorang yang adil wajib diterima.
2)
Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS.
Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
Mafhumnya mukhalafahnya adalah,
bagi orang yang sedang ihram jika membunuh binatang tanpa sengaja maka tidak
dikenakan denda.
3)
‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam
QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi,.”
Mafhumnya mukhalafahnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu
tidak syah.
b.
Mafhum Illiat
Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya atau sebabnya. Mengharamkan
minuman keras karena memabukkan.[16]
c.
Mafhum
ghayah
Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas
akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah
(batasan, hinggaan), lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ila” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat
al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ اِلىَ
الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak mengerjakan
sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan tidak sampai siku itu tidak sah.
d.
Mahfum
laqaab
Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada
isim alam atau isim fail. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
e.
Mafhum
hasr
Mafhum hasr adalah
pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai
pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah
yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
f.
Mafhum
syarat
Mafhum syarat adalah petunjuk lafadz yang
memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku
hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah jika istri-istri yang tertalak itu tidak sedang hamil, maka tidak
wajib diberi nafkah.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Manthuq adalah petunjuk makna yang bersifat tekstual, yaitu petunjuk yang telah
jelas pada seluruh atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz itu
sendiri. Mantuq terbagi atas
dua bagian, yaitu :
a. Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari
satu arti.
b. Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu
arti. Terbagi menjadi dua bagian, yaitu Zahir dan Mu’awwal.
2.
Mafhum adalah pemahaman terhadap makna yang tidak terdapat dalam suatu lafadz. Mafhum juga terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah.
b. Mafhum
Mukholafah
3.
Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk
kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku
pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya. Mafhum muwafaqah terbagi atas dua bagian, yaitu :
a.
Fahwa
al-Khitab
b.
Lahnu
al-Khitab
4. Mafhum Mukhalafah
merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu tidak
selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata lain
makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum Mukhalafah terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
a.
Mafhum al-washfhi
b.
Mafhum illat
c.
Mafhum ghayah
d.
Mafhum laqaa,
e.
Mafhum hasr
f.
Mafhum syara
DAFTAR PUSTAKA
Karim Syafi’i, 1997, Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung:
Pustaka Setia
Khalaf Abdul Wahab,
2003, Kaidah Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka Amani
Mudzakir. AS, 2007, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera
AntarNusa
Rosihon, 1999, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia
Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia
Syaikh Manna’ Al-Qaththan ,
2012, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an , Jakarta:
Pustaka Al – Kautsar
[1] Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 233
[2] Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul Fiqih, (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), h. 177
[3] Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor:
Litera AntarNusa,2007), h. 358
[4] Rosihon, Op. Cit., h. 233
[5] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan , Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an ,
( Pustaka Al – Kautsar , Jakarta , 2012) , h.312
[6] Mudzakir. AS, Op.
Cit., h.
359
[7] Ibid, h.360
[8] Rosihan, Op.
Cit., h.
235
[9] Syafi’i Karim, Op. Cit., h.180
[10] Mudzakir. AS, Op. Cit., h.
362
[11] Syafi’i Karim, Op. Cit., h.178
[12] Rosihan, Op.
Cit., h. 235
[13] Rosihan, Op.
Cit., h. 235
[14] Rahmat syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010) h.220
[15] Ibid, h. 220
[16] Syafi’i karim, Op.
Cit., h. 183
[17] Ibid., h.184
[18] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003) h. 222
Metal Tint Weddingbands for Men - Tatiana Tint - Tioga
BalasHapusFind band titanium bracelet members to aluminum vs titanium wear these titanium cartilage earrings band - Tint Weddingbands and start them to build new life with their music and everquest: titanium edition lifestyle titanium mig 170 - Tint.
b302d5dfmvr981 nfl jerseys,wholesale nfl jerseys from china,nfl jerseys,wholesale jerseys,Cheap Jerseys from china,nfl jerseys,wholesale nfl jerseys,nfl jerseys,Cheap Jerseys free shipping,wholesale nfl jerseys from china n729i3qjtyr121
BalasHapus