BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tujuan analitis terhadap tasawuf menunjukan bagaimana para sufi
dengan berbagai aliran yang dianutnya, memiliki satu konsepsi tentang jalan
menuju Allah. Jalan ini dimulai dari latihan-latihan rohaniah (riyadhah),
lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam
(tingkatan) dan hal (keadaan), yang berakhir dengan mengenal ma’rifat
Allah. Tingkatan ma’rifat yang umumnya banyak dikejar oleh para
sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan dengan melalui amalan-amalan
dan metode-metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan dalam
rangka menemukan pengenalan Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk
memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai
sebuah kerangka “Irfani”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian
kerangka berfikir irfani?
2.
Apa saja Maqam-maqam dalam Tasawuf?
3.
Apa saja Ahwal yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi?
4.
Bagaimana metode irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kerangka berpikir irfani dasar-dasar falsafi ahwal
dan maqamat
Kerangka sikap dan prilaku sufi di wujudkan melaui amalan-amalan dan
metode-metode tertentu yang di sebut thariqat, atau jalan dalam rangka
menemukan pengenalan Allah lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat
yang berlaku di kalangan. sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani
.
Lingkup irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atas secara
spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang proses yang dimaksud
adalah maqam-maqam (tingkatan) dan ahwal (Jama’ dari hal
). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju tuhan.
Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi ialah
tingkatan seorang hamba dihadapannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadhah)
jiwa yang dilakukannya. Dikalangan kaum sufi, urutan maqam ini berbeda-beda.
Sebagaimana mereka merumuskam maqam dengan sederhana, seperti rangkaian
maqam qana’ah berikut ini. Tanpa qana’ah, tawakal tidak akan
tercapai; tanpa tawakal, taslim tidak akan ada; tanpa wara,’ zuhud
tidak akan ada.
Dirumuskan al-ghazali[1]
lebih sedikit lagi. Ia merumuskan maqam seperti berikut: tobat, sabar, syukur,
khaut dan raja,’ tawakal mahabbah, rida, ikhlas, muhasabah dan muroqabah.[2]
Disamping istilah maqam, terdapat pula istilah hal (jamaknya ahwal).
Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika
seorang sufi mencaoai maqam tertentu.
Para sufi pun secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan hal.
Maqam menurut mereka ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah
hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya,
sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja.
B.
Maqam-maqam dalam Tasawuf
Adapun tahapan-tahapan
yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:
1. Taubat
Menurut Qamar Kailani
dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islami, taubat adalah rasa penyesalan
yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan
segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat
pada tiga tingkatan :
a. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada
kebaikan karena takut kepada siksa Allah
b. Beralih dari situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang
lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut inabah
c. Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan
kepada Allah, hal ini disebut taubah.[3]
2. Zuhud
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri
dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan
kehidupan akhirat. Al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi
keterikatan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran.
Al-Qusyairi[4]
mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rizki yang diterimanya.
Lain halnya dengan Hasan Al-Bashri[5]
yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan kehidupan
dunia karena ini tidak ubahnya seperti ular, licin apabila dipegang, tetapi
racunnya dapat membunuh.[6]
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi
dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia
bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang
berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali
Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
3. Faqr (Fakir)
Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa
yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya, sehingga
tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan
benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sikap
mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud
lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan
diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Sikap fakir akan memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para
sufi, adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang
jelas masalahnya.
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta yang
diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr
penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah.[7]
4. Sabar
Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani).
Menurut Syekh Abdul
Qadir Al-jailani[8],
sabar ada tiga macam, yaitu:
- Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketatapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
- Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampong akhirat. [9]
5. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang
diterima. Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah
mengikuti nikmat Allah karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga
hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh kepada
syari’at-Nya. Syekh Abdul Qadir Al-JAilani membagi syukur menjadi tiga
macam, pertama, dengan lisan. Kedua, syukur dengan badan dan
anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga,
syukur dengan hati.
6. Rela (Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang
dianugerahkan Allah SWT. Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong
manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapai, ia harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apa pun yang disukai Allah.
7. Tawakkal
Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah Azza
wa jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap
menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan.Tawakkal merupakan gambaran
keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Al-Ghazali
mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat
berfungsi sebagai landasan tawakkal.
Tawakal terbagi pada tiga derajat: tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang
yang bertawakkal merasa tentram dengan janji Rabb-nya. Orang yang
taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan
hukum-Nya.[10]
C.
Ahwal yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi
1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah). Waspada
dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu,
ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan
dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa
kombinasi dan pembawaan nafsu dan amarah.
2. Cinta (hubb). Mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap
kemuliaan hal, seperto halnya tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam.
Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi
segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah
adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
3. Berharap dan Takut (Raja dan Khauf). Raja’ berarti
berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang
senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau
optimism ini telah ditegaskan dalam Al-Quran.
4. Rindu (Syauq). Menurut Al-Ghozali, kerinduan kepada Allah
dapat dijelaskan melalui penjelasan tentang keberadaan cinta kepada-Nya. Pada
saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan orang yang mencintainya.
Begitu hadir di hadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti
sesuatu yang tidaka ada. Bila sudah ada, tentunya ia tidak dinanti lagi.
5. Intim (Uns). Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns
(intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi.
Ungkapan ini melukiskan sifat uns: “Ada orang yang merasa sepi
dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi. Ada pula orang yang merasa
bising dalam ksepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan
tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana
pun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau
selalu berada dalam pemeliharaan Allah”.
D.
Metode Irfani
Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai
pada tingkat ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar
tertentu, seperti riyadhah, tafakur, tazkiat an-nafs, dan dzikrullah.
Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani tersebut.
1.
Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan
diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya.[11]
Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga
seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari
berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara mudah, sehingga
Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha
meninggalkan sifat-sifat buruk.[12]
Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik
dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah
guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa.
Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka
salik akan memperoleh ilmu ma’rifat. Sehingga salik mampu menerima
komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para
sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan
data).
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujadah yang dimaksudkan di sini
adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek.
Meninggalkan sifat-sifat jelek. Perbedaan antara riyadhah dengan mujahadah
adalah kalau riyadhah berupa tahapan-tahapan real, sedangkan nujahadah
berjuang menekan atau meninggalkan dengan sungguh-sungguh pada
masing-masing tahapan riyadhah. Meskipun demikian, riyadhah tidak
dapat dipisahkan dari mujahadah, karena keduanya ibarat dua satu mata
uang.
Hal terpenting dalam riyadhah
adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi
yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi.
Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di
bawah bayangan Yang Qudus.
2.
Tafakur (Refleksi)
Menurut al-ghozali, orang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi
al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya, sehingga akan mendapat ilham.
Dalam Risalah al-laduniyah, Al-ghozali pun menjelaskan bahwa tafakur pun
merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.
Tafakur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dalam diri
manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa).
Tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal).
Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya.
Sebab, tafakur memotensikan nafs kulli (jiwa unversal), sebagaimana
diungkapakan al-Ghazali:
“Nafs kulli (jiwaunversal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih
besar kemampuan perolehnya dalam proses pembelajaran.”
Nafs kulli mempunyai fungsi yang sangat penting untuk
menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat. [13]
3.
Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian
jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli
dan tahalli. Tazkiyat An-Nafs merupakan inti kegiatan
bertasawuf. Kalangan sufi adalah
orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwa.
Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat,
yaitu: Pertama, jiwa yang belum sempurna. Kedua, jiwa yang
dikotori perbuatan-perbuatan maksiat; ketiga, menuruti keingiunan badan;
keempat, penutup yang menghalangi masuknya hakikat kedalam jiwa dan
kelima, tidak dapat berfikir logis.[14]
4.
Dzikrullah
Secara etimologis, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah
adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.
Al-ghazali dalam ihya, menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya
seperti kolam yang ke dalamnya mengalir bermacam-macam air. Pengaruh-pengaruh
yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu pancaindra, dan
adakalanya dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau
tabiat manusia.[15]
Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa dzikir
kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh
jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah,
sedangkan kuncinya menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dzikir
kepada Allah.[16]
Dzikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Berkenaan
dengan fungsi dzikir, Al-Ghazali pun dalam ihya nya menjelaskan bahwa
hati yang terang merupakan hasil dzikir kepada Allah. Takwa merupakan
pintu gerbang dzikir, sedangkan dzikir merupakan pintu
gerbang kasyaf (terbukanya hijab).
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka berpikir irfani
merupakan salah satu jalan sufistik yang ditempuh para sufi dalam mencapai
pengenalan kepada Allah swt secara total (ma’rifatullah) sebagai
hamba-Nya. Di dalam pengembaraan para salik (penempuh tasawuf) tersebut,
mereka mesti melalui tahapan-tahapan maqam (maqamat) seperti taubat,
zuhud, faqr, sabar, syukur, tawakkal, dan ridha.
Setelah para salik berhasil menempuh tingkatan maqam, mereka
berada pada kondisi al hal (ahwal). Pada kondisi ini mereka akan dengan
mudah mengalami hal-hal secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan mujahadah
mereka masing-masing. Adapun hal-hal tersebut adalah muhasabah, muraqabah,
hubb, raja’, khauf, syauq, dan uns.
Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai
derajat hamba yang hakiki di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh
secara sempurna jika dilakukan tanpa pedoman dan bimbingan tertentu. Pedoman
tersebut digunakan sebagai metode penempuhan para sufi yakni metode irfani.
Metode irfani merupakan salah satu metode sufistik yang telah digali
oleh para ‘arifin (ulama tasawuf) dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan
Sunnah Rasul saw. Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kerangka berpikir irfani
melalui falsafi maqamat dan ahwalnya menjadi dasar amalan para
salik di dalam memahami esensi (hakikat) nilai-nilai penghambaan diri kepada
sang Maha dahsyat. Selain itu, kerangka berpikir irfani ini, tidak
semata dikhususkan bagi para salik atau sufi, melainkan pula kepada kaum muslimin
yang menginginkan ketenangan secara lahir dan batin, dan tentunya disertai
dengan pedoman dan bimbingan guru mursyid.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
Abdul Fattah Sayyid Ahmad,. Tasawuf: antara
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
Abdul Qadir al-Jilani, ,Rahasia Sufi,
Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi,
Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadz dzolal, Maktabah Syamilah: Mauqiul
Wariq.
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi,
Jakarta: Srigunting, 2001.
M Solihin, dkk, Ilmu Tasawuf, Bandung : PUSTAKA SETIA, 1998.
[1] Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus;
1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53
tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai
Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Ia berkuniah Abu Hamid karena salah
seorang anaknya bernama Hamid.[butuh rujukan] Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi
berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya
yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar
asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga
yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya
menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir,
ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi
perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor
di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali
meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun
1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
[2] Abdul
Fattah Sayyid Ahmad,. Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah,
Jakarta: Khalifa, 2000, hlm.23
[4] Nama
lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin
bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya
cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan: An-Naisaburi. Dihubungkan
dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota
terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw.
Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota
ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota
inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya.
Al-Qusyairi. Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya
dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa
Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut.
Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin
Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur
bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga
besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong
bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka
wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin
di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada
saat penyerangan di sana.
[5] Al-Hasan
adalah Maula Al-Anshari. Ibunya bernama Khairah, budak Ummu Salamah yang
dimerdekakan, dikatakan Ibnu Sa’ad dalam kitab tabaqat Hasan adalah seorang
alim yang luas dan tinggi ilmunya, terpercaya, seorang hamba yang ahli ibadah
dan fasih bicaranya. Bapaknya bernama Pirouz (kemudian dikenal sebagai Abul
Hasan), yang menjadi budak pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin
Al-Khattab. Dari kampungnya Pirouz kemudian dibawa ke Madinah sebagai seorang
tawanan. Pirouz dan seorang perempuan dari kampungnya, diberikan kepada Ummu
Salamah. Lalu Ummu Salamah memberikan mereka berdua kepada saudara terdekat dia
dan keduanya lantas menikah dengan tuan mereka dan dibebaskan. Hasan al-Basri
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi). Dia pernah menyusu
dengan Ummu Salamah, isteri Rasulullah S.A.W. Pada usia 14 tahun, Al-Hasan
pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai
dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. Hasan kemudian dikategorikan sebagai
seorang Tabi'in (generasi setelah sahabat). Hasan al-Basri juga pernah berguru
kepada beberapa orang sahabat Rasulullah S.A.W. sehingga dia muncul sebagai
Ulama terkemuka dalam peradaban Islam. Hasan al-Basri meninggal dunia di
Basrah, Iraq, pada hari jum'at 5 Rajab 110 Hijrah (728 Masehi), pada umur 89
tahun.
[7] Ibid,.
[8] Abdul
Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani (470–561 H) (1077–1166 M) adalah
seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam
dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H,
1077 M selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di
daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
[9] Ibid,
hlm.80
[10] Ibid,
hlm.82
[11] Ibid,
hlm. 53
[12] Ibid,
hlm. 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar