Rabu, 07 Juni 2017

Kerangka Berfikir Irfani, Dasar­-dasar falsafi ahwal dan maqamat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tujuan analitis terhadap tasawuf menunjukan bagaimana para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya, memiliki satu konsepsi tentang jalan menuju Allah. Jalan ini dimulai dari latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), yang berakhir dengan mengenal ma’rifat Allah. Tingkatan ma’rifat yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan dengan melalui amalan-amalan dan metode-metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka “Irfani”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian kerangka berfikir irfani?
2.      Apa saja Maqam-maqam dalam Tasawuf?
3.      Apa saja Ahwal  yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi?
4.      Bagaimana metode irfani?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian kerangka berpikir irfani dasar­-dasar falsafi ahwal dan maqamat
Kerangka sikap dan prilaku sufi di wujudkan melaui amalan-amalan dan metode-metode tertentu yang di sebut thariqat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan Allah lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku di kalangan. sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani .
Lingkup irfani tidak dapat dicapai  dengan mudah atas secara spontanitas, tetapi melalui proses  yang panjang proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan) dan ahwal (Jama’ dari hal ). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju tuhan.
Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi ialah tingkatan seorang hamba dihadapannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan kaum sufi, urutan maqam ini berbeda-beda.
Sebagaimana mereka merumuskam maqam dengan sederhana, seperti rangkaian maqam qana’ah berikut ini. Tanpa qana’ah, tawakal tidak akan tercapai; tanpa tawakal, taslim tidak akan ada; tanpa wara,’ zuhud tidak akan ada.
Dirumuskan al-ghazali[1] lebih sedikit lagi. Ia merumuskan maqam seperti berikut: tobat, sabar, syukur, khaut dan raja,’ tawakal mahabbah, rida, ikhlas, muhasabah dan muroqabah.[2]
Disamping istilah maqam, terdapat pula istilah hal (jamaknya ahwal). Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencaoai maqam tertentu.
Para sufi pun secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam menurut mereka ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja.
B.     Maqam-maqam dalam Tasawuf
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:
1.      Taubat 
Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islami, taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang  menimbulkan dosa. Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
a.       Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih  pada kebaikan karena  takut kepada  siksa Allah
b.      Beralih dari situasi yang sudah baik  menuju  ke situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut inabah
c.       Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut taubah.[3]
2.       Zuhud
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al-Qusyairi[4] mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rizki yang diterimanya. Lain halnya dengan Hasan Al-Bashri[5] yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan  kehidupan  dunia karena ini tidak ubahnya seperti ular, licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat membunuh.[6]
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada  tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
3.       Faqr (Fakir)
Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak  dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan  benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Sikap fakir akan memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para sufi, adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya.
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah.[7]
4.       Sabar
Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-jailani[8], sabar ada tiga macam, yaitu:
  1. Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  2. Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketatapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
  3. Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampong akhirat. [9]
5.       Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima. Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengikuti nikmat Allah karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh kepada syari’at-Nya. Syekh Abdul Qadir Al-JAilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama, dengan lisan. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga, syukur dengan hati.
6.       Rela (Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapai, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah.
7.       Tawakkal
Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah Azza wa jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan.Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Al-Ghazali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakkal.
Tawakal terbagi pada tiga derajat: tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang bertawakkal merasa tentram dengan janji Rabb-nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya.[10]



C.    Ahwal  yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi
1.      Waspada dan Mawas  Diri (Muhasabah dan Muraqabah). Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dan pembawaan nafsu dan amarah.
2.      Cinta (hubb). Mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperto halnya tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
3.      Berharap dan Takut (Raja dan Khauf). Raja’ berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan dalam Al-Quran.
4.       Rindu (Syauq). Menurut Al-Ghozali, kerinduan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan tentang keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan orang yang mencintainya. Begitu hadir di hadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidaka ada. Bila sudah ada, tentunya ia tidak dinanti lagi.
5.        Intim (Uns). Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim)  adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan ini melukiskan sifat uns“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam ksepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah”.
D.    Metode Irfani
Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadhah, tafakur, tazkiat an-nafs, dan dzikrullah. Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani tersebut.
1.      Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya.[11] Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk.[12] Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh ilmu ma’rifat. Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan data).
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujadah yang dimaksudkan di sini adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan  sifat-sifat jelek. Meninggalkan sifat-sifat jelek. Perbedaan antara riyadhah dengan mujahadah adalah kalau riyadhah berupa tahapan-tahapan real, sedangkan nujahadah berjuang menekan atau meninggalkan dengan sungguh-sungguh pada masing-masing tahapan riyadhah. Meskipun demikian, riyadhah tidak dapat dipisahkan  dari mujahadah, karena keduanya ibarat dua satu mata uang.
Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi. Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan Yang Qudus.
2.      Tafakur (Refleksi)
Menurut al-ghozali, orang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya, sehingga akan mendapat ilham. Dalam Risalah al-laduniyah, Al-ghozali pun menjelaskan bahwa tafakur pun merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.
Tafakur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal).
Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya. Sebab, tafakur memotensikan nafs kulli (jiwa unversal), sebagaimana diungkapakan al-Ghazali:
“Nafs kulli (jiwaunversal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan perolehnya dalam proses pembelajaran.”
 Nafs kulli mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat. [13]
3.      Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat An-Nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf.  Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwa.
Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu: Pertama, jiwa yang belum sempurna. Kedua, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan maksiat; ketiga, menuruti keingiunan badan; keempat,  penutup yang menghalangi masuknya hakikat kedalam jiwa dan kelima, tidak dapat berfikir logis.[14]
4.      Dzikrullah
Secara etimologis, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.
Al-ghazali dalam ihya, menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang ke dalamnya mengalir bermacam-macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu pancaindra, dan adakalanya  dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat manusia.[15]
Dalam  Al-Munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa dzikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan  hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan  kuncinya menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dzikir kepada Allah.[16]
Dzikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Berkenaan dengan fungsi dzikir, Al-Ghazali pun dalam ihya nya menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil dzikir kepada Allah. Takwa merupakan pintu gerbang dzikir, sedangkan  dzikir merupakan pintu gerbang kasyaf  (terbukanya hijab).



BAB III
KESIMPULAN
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka berpikir irfani merupakan salah satu jalan sufistik yang ditempuh para sufi dalam mencapai pengenalan kepada Allah swt secara total (ma’rifatullah) sebagai hamba-Nya. Di dalam pengembaraan para salik (penempuh tasawuf) tersebut, mereka mesti melalui tahapan-tahapan maqam (maqamat) seperti taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, tawakkal, dan ridha.
Setelah para salik berhasil menempuh tingkatan maqam, mereka berada pada kondisi al hal (ahwal). Pada kondisi ini mereka akan dengan mudah mengalami hal-hal secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan mujahadah mereka masing-masing. Adapun hal-hal tersebut adalah muhasabah, muraqabah, hubb, raja’, khauf, syauq, dan uns.
Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai derajat hamba yang hakiki di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh secara sempurna jika dilakukan tanpa pedoman dan bimbingan tertentu. Pedoman tersebut digunakan sebagai metode penempuhan para sufi yakni metode irfani. Metode irfani merupakan salah satu metode sufistik yang telah digali oleh para ‘arifin (ulama tasawuf) dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul saw. Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kerangka berpikir irfani melalui falsafi maqamat dan ahwalnya menjadi dasar amalan para salik di dalam memahami esensi (hakikat) nilai-nilai penghambaan diri kepada sang Maha dahsyat. Selain itu, kerangka berpikir irfani ini, tidak semata dikhususkan bagi para salik atau sufi, melainkan pula kepada kaum muslimin yang menginginkan ketenangan secara lahir dan batin, dan tentunya disertai dengan pedoman dan bimbingan guru mursyid.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
Abdul Fattah Sayyid Ahmad,. Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
Abdul Qadir al-Jilani, ,Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadz dzolal, Maktabah Syamilah: Mauqiul Wariq.
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001.
M Solihin, dkk, Ilmu Tasawuf, Bandung : PUSTAKA SETIA, 1998.


[1] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.[butuh rujukan] Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
[2] Abdul Fattah Sayyid Ahmad,. Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000, hlm.23
[3] M Solihin, dkk, Ilmu Tasawuf, Bandung : PUSTAKA SETIA, 1998 hal. 75
[4] Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan: An-Naisaburi. Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya. Al-Qusyairi. Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
[5] Al-Hasan adalah Maula Al-Anshari. Ibunya bernama Khairah, budak Ummu Salamah yang dimerdekakan, dikatakan Ibnu Sa’ad dalam kitab tabaqat Hasan adalah seorang alim yang luas dan tinggi ilmunya, terpercaya, seorang hamba yang ahli ibadah dan fasih bicaranya. Bapaknya bernama Pirouz (kemudian dikenal sebagai Abul Hasan), yang menjadi budak pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab. Dari kampungnya Pirouz kemudian dibawa ke Madinah sebagai seorang tawanan. Pirouz dan seorang perempuan dari kampungnya, diberikan kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah memberikan mereka berdua kepada saudara terdekat dia dan keduanya lantas menikah dengan tuan mereka dan dibebaskan. Hasan al-Basri dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi). Dia pernah menyusu dengan Ummu Salamah, isteri Rasulullah S.A.W. Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. Hasan kemudian dikategorikan sebagai seorang Tabi'in (generasi setelah sahabat). Hasan al-Basri juga pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasulullah S.A.W. sehingga dia muncul sebagai Ulama terkemuka dalam peradaban Islam. Hasan al-Basri meninggal dunia di Basrah, Iraq, pada hari jum'at 5 Rajab 110 Hijrah (728 Masehi), pada umur 89 tahun.
[6] Abdul Fattah Sayyid Ahmad,. Tasawuf......  hlm. 25
[7] Ibid,.
[8] Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani (470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
[9] Ibid, hlm.80
[10] Ibid, hlm.82
[11] Ibid,  hlm. 53
[12] Ibid,  hlm. 79
[13] Al-ghozali, Risalah al-laduniyah....
[14] M Solihin, dkk, Ilmu Tasawuf,... hlm. 88
[15] Abdul Qadir al-Jilani, ,Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.hlm. 314
[16] Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadz dzolal, Maktabah Syamilah: Mauqiul Wariq, hlm. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU

" KUNCI KEBAHAGIAAN MENURUT SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU 'ANHU " . ✅ JANGAN MEMBENCI SIAPAPUN, WALAU ADA YANG ...